PADA Selasa (03/ 11) lalu, bertempat di ruang laboratorium IPA SMP Negeri 2 Meral, berlangsung rapat pengurus PGRI (Persatuan Guru Terpublik Indonesia) Cabang Meral dengan para Kepala Sekolah se-Kecamatan Meral. Agenda rapat yang utama adalah persiapan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI ke-70 tahun 2015. Selain agenda utama itu ada pula beberapa agenda lainnya seperti konsolidasi anggota PGRI Kecamatan Meral, Iyuran PGRI dan beberapa lainnya.
Dari sejumlah agenda itu, justeru yang sangit dan menyita energi-pikiran dalam membahasnya adalah perihal ide pemberian santunan sosial bagi anggota yang mendapat musibah. Jika pembahasan agenda-agenda lainnya itu relatif mudah dan cepat mendapatkan keputusan, justeru untuk agenda ide pemberian santunan sosial ini tidak mudah. Perdebatan begitu sengit dan seperti tidak akan mudah menuju keputusan.
Perdebatan yang seolah melahirkan dua kubu yang bagaikan berseteru itu adalah tentang perlu-tidaknya pemberian santunan kepada anggota PGRI yang mendapat musibah seperti sakit dan atau kecelakaan. Perdebatan ini seolah-olah sengit karena salah seorang peserta rapat menyampaikan kekecewaannya kepada organisasi yang bernama PGRI itu karena selama ini tidak memperhatikan anggotanya yang ditimpa musibah seperti sakit.
Menurut guru yang kesal karena kebetulan salah guru di sekolahnya sudah lama sakit namun tidak pernah mendapat perhatian dari organisasi. "Untuk apa PGRI besar keluar, jika untuk ke dalam kepada anggotanya malah seolah tidak ada manfaatnya." Menurut guru ini, selama ini PGRI selalu berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang dalam setiap peringatan ulang tahunnya. Untuk membiayai itu, malah memungut biaya --seperti iyuran-- kepada anggota. Dalam setiap HUT selalu besar-besaran. Makan-minum dan konsumsi dalam setiap HUT selalu cukup mewah. Bahkan mampu memberi hadiah umroh ke Tanah Suci setiap tahun bagi anggota yang beruntung.
Sayangnya, kata guru ini, itu hanya untuk 'besar keluar' saja. Ke dalamnya organisasi kita ini keropos dan jauh dari memberi perhatian. Begitu keluhan rekan guru ini sambil mengusulkan agar dalam rapat itu diambil kesepakatan, ke depannya harus ada sumbangan atau pemberian sosial bagi anggota yang mendapat musibah, kecelakaan atau apapun yang menyebabkan kerugian anggota.
Setelah berdiskusi cukup alot, dapatlah disepakati bahwa ke depan perlu pemberian santunan itu diberlakukan. Sekali lagi diingatkan agar PGRI ini jangan hanya besar keluar tapi tidak memperhatikan kesulitan anggotanya. Keputusan tentang pemberian santunan semoga menjadi salah satu bukti bahwa PGRI juga memberi perhatian yang utama kepada para anggota.
Sampai di keputusan ini, ternyata perdebatan belum reda. Tindak lanjut dari keputusan itu adalah harus pula dibuat keputusan perihal besaran santunan yang akan diberikan. Memutuskan besaran inilah yang juga tidak mulus. Di satu kubu, ingin agar besarnya santunan itu jangan sekadarnya saja. Pengusul ini tentu saja ingin memberikan santunan yang agak lebih besar. Dengan mencontohkan santunan sosial yang dilaksanakan di salah satu sekolah, ternyata santunan untuk anggota/ guru yang mendapat musibah itu sebesar Rp 1.000.000 (satu juta rupiah).
Tapi di pihak lain, terutama bagi pengurus inti PGRI belum dapat menerima usulan ini. Alasannya itu terlalu besar, dan khawatir tidak terkaper oleh besarn iyuran anggota PGRI. Jika angka santunan terlalu besar, tentu saja nanti akan terlalu menguras uang kas yang ada. Dikhawatirkan tentunya akan mengganggu operasional roda PGRI mengingat dana yang terkumpul akan lebih kecil berbanding banyaknya aktivitas PGRI.
Sekali lagi, argumen 'PGRI jangan hanya besar di luar' itu muncul kembali. Dan itu memang benar. Alangkah akan lucunya jika dalam setiap kegiatan ulang tahun, PGRI mampu melaksanakan helat HUT yang sangat mewah dan besar-besaran. Tapi di sisi lain, kesulitan anggota tersebab musibah malah seolah tidak mendapat mendapat perhatian. Itulah sebabnya perdebatan tentang santunan anggota ini menjadi hangat dan benar-benar menghidupkan suasana rapat.
Untuk sementara sebagai jalan tengah, besaran santunan itu disepakati Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) untuk musibah/ sakit yang dinilai paling berat. Misalnya harus diopname sekurang-kurangnya tiga hari. Dan walaupun jumlah itu tidak memuaskan bagi kelompok yang mengusulkan lebih besar, namun itulah jalan tengah yang akhirnya disepakati. Semoga keputusan itu dapat terlaksana dengan baik. Tidak sampai menguras kas PGRI. Kata orang tua-tua, 'jangan sampai besar pasak dari pada tiang'. Semoga.***
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda