BREAKING NEWS

Kamis, 29 Oktober 2015

MAAFKAN AKU, EMA

Cerpen M. Rasyid Nur

SETELAH aku selesai membaca dua buah cerpen karya S. Markasan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Matahari Kota–nya itu, aku menoleh ke jam vekker yang terletak di depanku. Pukul sembilan tiga puluh.  Hmmm …  sudah malam, desahku sambil menggosok mata yang terasa mulai pedih. Aku menutup buku tersebut. Dan berhenti membacanya. 
Sejenak aku terlena. Teringat kembali olehku Wak Mat, tokoh dalam cerpen “Pergi dan Datang“ yang baru saja kubaca tadi. Dia malang,  meninggalkan dunia serta beberapa orang anaknya yang masih kecil–kecil.
Pikiranku melayang lebih jauh. Ke kampung, desaku tercinta. Terbayang lagi olehku dua orang ponakanku yang masih kecil–kecil ditinggalkan ayahnya bulan April lalu. Dan kini mereka tentu menungguku. Karena memang menjadi tanggunganku, demikian wasiat alharhum ayahnya.
Angan–anganku semakin jauh. Apa yang terjadi masa lalu kembali muncul dalam benakku. Membuat aku gelisah.
Kuhidupkan radio yang terletak di depanku itu. Untuk pengusir kesepian, begitu maksud hatiku. Putar kiri, putar kanan, akhirnya jarum gelombang radio itu menunjukkan angka lima puluh meter. Er Er I Pekanbaru. Kubesarkan sedikit volumenya, biar jelas. Wauuu …. Acara kesayanganku, kataku sendiri. Dan aku besarkan lagi suaranya.
Pikiranku kini hanya tertuju pada radio itu. Kelana anganku tadi telah punah.
Acara Lagu dan Kenangan yang diasuh oleh Kak NK. Nasti itu, memang salah satu acara yang paling kusenangi disamping beberapa acara lainnya. Aku mengkosentrasikan pikiranku.
Naskah pertama mulai menggema. Kiriman seorang wanita, kedengarannya. Entah siapa pengirimannya. Belum jelas kudengar. Aku mengikuti kandungan isi naskah itu dengan penuh khidmat.
Tiba–tiba aku kaget mendengarnya. Aku seolah–olah tidak percaya pada telingaku sendiri, bahwa kisah itu benar–benar terjadi. Rasanya aku tak yakin. Sebab isinya seolah–olah ditujukan kepadaku sendiri. Kalbuku bagaikan ditusuknya. Tapi aku masih belum yakin..
Naskah itu berisi seuntai keluhan dari seorang gadis yang telah cacat akibat ditabrak kenderaan ketika ia pulang sekolah. Gadis itu sedang mengenderai sepedanya, ketika musibah itu menimpanya. Kini gadis itu bagaikan putus asa dalam hidupnya. Bahkan ingin bunuh diri, akibat cacat tubuhnya itu. Demikianlah naskah tersebut, yang dapat kudengar lewat radioku. Benarkah ini?  Atau hanya khayalannya belaka? Aku malah bingung. Ragu. Dan  ….sekaligus haru.
Tapi kebingunganku itu akhirnya hilang. Aku semakin yakin bahwa deretan derita penulis dalam naskah itu benar–benar ditujukan kepadaku. Setelah aku mendengar penyiar menyebutkan bahwa naskah itu adalah kiriman Ema, yang kini bermukim di kota Padang. Ema, Ema, Ema ……., nama itu berulang-ulang kuucapkan dalam hati, sementara bayangan wajah gadis itu ikut memenuhi pikiranku.
Pasti. Ini pasti. Naskah ini benar–benar buatku, aku mencoba meyakinkan diriku. Dia tentu wanita itu menyesaliku. Atau lebih pantas memarahiku. Atau boleh jadi dia akan menyumpahiku selama hidupnya. Karena akulah penyebabnya, hingga Ema harus menderita cacat kakinya. Oh Ema. Ema. Mungkinkah ini, Ema? Aku mematikan radio itu, sambil mengeluh panjang dalam kesedirianku. Kutercenung. Badanku seperti sedang melayang. Hanya detak-detik jam vekker itu yang kembali terdengar.
Suasana kamar yang berukuran empat kali tiga meter itu, kini jadi hening. Ku melamun. Pikiranku melayang jauh ke masa lalu.

***
Peristiwa yang menyebabkan Ema bernasib malang itu terjadi dua tahun yang silam. Di kota Padang. Ketika itu aku masih tinggal di sana bersama ayah dan ibu serta tiga orang adikku. Dan aku baru kelas dua Es Em A di sana.
Pada hari yang malang itu, aku tidak masuk sekolah. Terus terang, hanya karena malas. Plus Pe Er matematikaku belum kukerjakan. Dan aku takut pada guru itu. Akhirnya aku bolos hari itu. Dan untuk mengisi waktu yang telah kucuri itu, aku mengajak Daniel, teman karibku ke Maninjau.
Daniel yang kebetulan punya sepeda motor pribadi ternyata tidak menolak ajakanku. Dan kami pun berangkat meninggalkan kota Padang.
Tujuan ke Maninjau memang tidak ada. Hanya sekedar mengisi waktu. Tidak lebih.
Aku disuruh Daniel duduk di belakangnya. Nanti pulang baru aku yang membawanya, begitu keputusan kami sebelum berangkat.
Dengan kecepatan tinggi, ia menancap Ge El-nya itu.
“ Jangan terlalu ngebut!”, aku memberikan peringatan dari belakang.
“ Ah tenanglah “, jawabnya enteng.
“ Tapi. Eh, tapi jalan ….. kan licin “.
“ Sebentar lagi, juga kering. Hujannya cuma segitu “. Daniel kian menggila kurasa.
Di sebuah jalan lurus di depan sebuah Es Em Pe, gasnya tambah meraung. Tapi kali ini aku tidak memberi peringatan apa–apa. Jalannya lurus, memang.
Jauh di depan sana, ada seorang wanita berpakain seragam putih-putih sedang mengenderai sepedanya. Tapi masih jauh kulihat.
“ Klaksonnya “, kataku menyuruh ia membunyikan klasksonnya. Dan gasnya tak perlu diturunkan. Karena wanita itu masih tampak jauh. Apa lagi  gadis itu sudah berada di pinggir jalan sebelah kiri.
Ketika tiba–tiba motor kami telah dekat, sepeda wanita itu merembet ke tengah lagi. Daniel tampak gugup dan tidak dapat mengelakkan gadis itu. Dan …. paar, traak. “Aduh, up. Ast …“  kami terjatuh. Sepeda itu jadi sasaran motor kami. Dan aku tak tahu lagi, di mana aku waktu itu. Aku tak sadar.

***
Sore.
Ketika aku telah sadar, aku terkejut. Ternyata aku telah berada di rumah sakit. Rumah Sakit Umum Pusat kota Padang. Kulihat di sekelilingku, ayah, ibu dan adik – adikku. Aku rasanya ingin menangis. Tapi, tapi aduh … tubuhku terasa kaku. Aku tak bisa bergerak. Kepalaku diperban dengan kain putih, penuh darah. Kakiku lagi diikat, biar tak bisa lagi bergerak. Aku juga ingin bertanya tentang sesuatu.
Bagaimana temanku, Daniel, atau wanita itu. Ah…Tapi aku tak bisa berkata karena mulutku juga diperban. “Oh Tuhan, kenapa … kenapa in… ini yang kualami? Maafkan aku ayah, ib ….  Ib ….. ibbu, dan  ………  dan ……….. Aduh…“.Hanya bathinku yang bisa menjerit.
“ Tenanglah. Kamu perlu istirahat“. Kalau aku tak salah dengar, suara itu adalah suara ayahku. Kumelirik matanya. Syahdu. Haru. Dan aku pejamkan kembali mataku. Aku tak berani menatapnya.
“ Ya nak. Supaya lekas sembuh“, sambung ibuku.
Dan aku tak mendengar lagi suara mereka. Aku tertidur. Duniaku lenyap seketika.
Lima bulan lamanya aku jadi penghuni rumah sakit. Waktu yang cukup lama terasa oleh orang yang sedang dalam penderitaan seperti aku waktu itu. Rasanya telah lima tahun aku di sana. Apalagi dukanya lebih kurasakan ketimbang sukanya. Yang makananku dibatasilah. Yang layanannya tak menyenangkanlah, apa lagi jika aku menjerit kesakitan aku akan  dibentak susternya. Atau kalau aku sering–sering buag air juga dibentak, sebab aku belum boleh berdiri, apalagi berjalan. Dan masih sederet lagi suka-duka yang kurasakan, yang kesemuanya itu terasa ikut memperpanjang waktu yang lima bulan itu.
Baru aku mengerti, ternyata menjadi orang sakit itu bukan menyenangkan meskipun dirawat di ruang VIP sekalipun. Meskipun kita membayar yang merupakan kewajiban, dan konsekuensinya tentu pula kita punya hak untuk dilayani secukupnya, tapi ternyata hak itu tidak seperti yang kita bayangkan. Tegasnya di rumah sakit ternyata tidak kita jumpai layanan seperti yang diberikan orang tua kita sendiri. Memangkah harus begitu?.
Setelah kesehatanku mulai pulih, dan aku sudah boleh keluar dari tempat penuh duka itu, aku masih tetap berbangga serta bersyukur pada Tuhan, karena aku masih bisa berjalan, berlari lambat, atau bekerja seperti biasa. Hanya jalanku sedikit berubah dari sediakala. Karena menurut dokter yang merawatku, tulang pinggulku bagian dalam sedikit pindah posisinya.
Tapi aku boleh dikatakan masih beruntung. Sedangkan temanku Daniel, oh dia telah tiada. Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir ketika dia masih dalam perjalanan (dari tempat kecelakaan kami menjelang ke rumah sakit). Dia tak sempat dirawat. Karena kepalanya parah, terhempas ke aspal. Oh Daniel temanku! Maafkan aku. Maafkan juga Ema! Aku seperti mengeluh dan menyesal.
“ Bagaimana dengan gadis itu, Pak?”. Pertanyaan itu pernah kulontarkan pada ayah, ketika suatu malam kami sekeluarga mengadakan acara doa selamat untuk mengingat empat puluh hari berpulangnya nenekku.
“Dia lebih parah“, jawb ayahku singkat sambil menyulut sebatang Commodore.
“Iya, dia benar–benar parah “, timpal ibuku pula.
“Tapi lebih parah Daniel, kan Pak?”, kembali aku bertanya.
Tentang Daniel, jangan disebut–sebut lagi. Dia telah mendahului kita. Itu bukan parah lagi“, jelas ayahku.
“Tapi …. “, suaraku terputus dipotong ayahku.
“Namanya itu fatal“.
Aku diam.
“Yang penting, kamu, kita semua harus mendoakannya. Supaya dia diterima Tuhan di sisi-Nya. Dan segala kesalahannya harus pula dimaafkan“, sambung ayahku lagi.
“Tapi, tapi pak  …. hmm …. “, sekali lagi suaraku dipotong ayahku.
“Sekarang semuanya telah berlalu. Dia telah tiada. Kita percuma saja mengulanginya. Hanya pesan saya, ingatlah kejadian itu. Dan jadikanlah itu sebagai lampu kuning dalam peringatan hidupmu, yang sewaktu–waktu bisa saja menjadi lampu merah. Dan kau akan lebih menyesal ketika itu. Sebab penyesalan itu mungkin tak berarti lagi nantinya“. Ayahku memberi nasehat. Nasehat yang selalu disampaikan sebelumnya jika aku kecelakaan di jalanan atau berurusan dengan polisi.
“Semua orang sebenarnya telah lama tahu dan mengerti dengan watakmu. Siapa kamu, semua orang mengenalnya. Kalian yang sudah sekian kali keluar masuk kantor polisi karena membawa kenderaan tanpa SIM itu, juga diketahui orang. Hanya bapakmu ini saja yang selalu jadi sasaran cemoohan masyarakat.”
“Ah ayahnya ‘kan orang tak asing lagi “, itu ejekan orang padaku. ”Sayang sekali tapi, kamu hanya ngetop karena kebandelanmu. Itu tak berarti apa–apa. Hanya menjatuhkan wibawa ayahmu ini saja. Membuat malu. Kamu harus tahu. Dan kinilah saatnya bagimu untuk menyadari semua itu“.
Aku diam membisu. Tak berani menjawabnya. Aku benar–benar menyesali kesalahanku selama ini. Dan ayahku kembali berceramah.
“Setelah kamu tidak masuk sekolah selama enam bulan ini, dan praktis satu semester tak mengikuti pelajaran, maka untuk tahun depan kamu berhenti saja sekolah“
Ssrr…Aku terkejut.
“Tapi dia ‘ kan masih bisa sekolah pak ?”, sela ibuku.
“Iya pak, aku tetap mau sekolah pak. Aku sadar pak. Jangan pak, jangan berhentikan aku pak “, aku separoh meringis.
“Maksud saya bukan begitu“.
“Lantas?”, tanya ibu.
“Maksud saya, di sini, di kota ini dia tidak saya izinkan sekolah lagi“.
“Maksud bapak?”, ibu terus bertanya.
”Kalau dia memang telah sadar, dan mau sekolah lagi, nah carilah sekolah  selain di sini. Atau merantau. Mungkin dengan ini dia bisa lebih sadar, bu. Atau lebih dewasa. Masalah belanja, tetap akan aku penuhi. Itu kewajiban, bukan?”. Ayah menegaskannya.
“Dan masalah …. “, aku ingin menanyakan masalah kecelakaan itu pada ayah. Bagaimana penyelesaiannya, tapi untuk ketiga kalinya suaraku dipotong ayah.
“Kini kamu harus betul–betul sadar. Dan pikirkan kata–kata ayah itu dengan baik. Kejadian yang telah lalu itu biar aku yang menyelesaikannya. Walaupun sekarang gadis itu belum kembali dari Jakarta untuk mengobati kakinya yang harus dipotong itu, tapi itu biarlah urusan ayah sendiri“, suara ayah terhenti karena batuk. Dan, “minggu depan kamu akan saya antarkan ke Pekanbaru. Sekolah di sana. Tuntutlah ilmu sebanyak–banyaknya. Kamu sudah, harus memikirkan masa depanmu sendiri. Tapi ingat! Di rantau orang tidak sama dengan di tempat kita sendiri. Oleh sebab itu tinggalkanlah sifatmu selama ini. Mengerti?” Rasanya aku mau pingsan mendengar khutbah ayahku itu.
“Nah, sekarang pergilah istirahat ke sana“. Ayahku menutup dan berhenti berbicara. Lalu meninggalkan tempat itu. Aku pun berlalu pula dari ruangan itu. Besoknya aku harus sudah berangkat meninggalkan kota Padang, kota kelahiranku.

***
Kini dua tahun telah berlalu. Dan aku pun telah  semakin sibuk dengan pelajaranku. Sebagai seorang mahasiswa walaupun baru tingkat satu, tentu saja aku harus memperhitungkan waktu–waktu yang kulalui ini.
Aku harus sibuk, demi masa depan tentunya.
Aku kembali melamun. Mengingat isi naskah Ema tadi. Tapi aku hanya bisa berbicara sendiri dalam hati. Ingin minta maaf, yah itu hanya pada diriku sendiri, sebab dia telah jauh entah di mana. Ingin memberi semangatnya untuk hidup supaya dia tidak merasa rendah diri dari temannya, itu juga tak ‘kan didengarnya. Oh Ema. Mungkinkah engkau akan mendengar jeritan penyesalanku ini? Maukah engkau memaafkannya Ema?  Ataukah engkau tetap akan menyembunyikan dirimu, Ema?.
Ema! Engkau tak bersalah. Kami yang bersalah. Namun sahabatku Daniel telah tiada. Aku akan memikul penyesalan dan dosa itu sendiri, Ema. Aku ingin minta maaf kepadamu, Ema. Dan …  dan ….., sampai di sini lamunanku buyar oleh seekor cecak yang terjatuh di depanku.
Aku tersadar, ternyata jam vekker itu telah menunjukan angka dua belas. Dan aku pun beranjak dari tempat itu. Untuk tidur. ***
*Dari buku Duka Cinta di Awal Cita

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda

 
Copyright © 2016 koncopelangkin.com Shared By by NARNO, S.KOM 081372242221.