SETELAH
aku selesai membaca dua buah cerpen karya S. Markasan
yang terdapat dalam kumpulan cerpen Matahari
Kota–nya itu, aku menoleh ke jam vekker yang terletak di depanku. Pukul
sembilan tiga puluh. Hmmm … sudah malam, desahku sambil menggosok mata
yang terasa mulai pedih. Aku menutup buku tersebut. Dan berhenti membacanya.
Sejenak
aku terlena. Teringat kembali olehku Wak Mat, tokoh dalam cerpen “Pergi dan
Datang“ yang baru saja kubaca tadi. Dia malang, meninggalkan dunia serta beberapa orang
anaknya yang masih kecil–kecil.
Pikiranku
melayang lebih jauh. Ke kampung, desaku tercinta. Terbayang lagi olehku dua orang
ponakanku yang masih kecil–kecil ditinggalkan ayahnya bulan April lalu. Dan
kini mereka tentu menungguku. Karena memang menjadi tanggunganku, demikian
wasiat alharhum ayahnya.
Angan–anganku
semakin jauh. Apa yang terjadi masa lalu kembali muncul dalam benakku. Membuat
aku gelisah.
Kuhidupkan
radio yang terletak di depanku itu. Untuk pengusir kesepian, begitu maksud
hatiku. Putar kiri, putar kanan, akhirnya jarum gelombang radio itu menunjukkan
angka lima
puluh meter. Er Er I Pekanbaru. Kubesarkan sedikit volumenya, biar jelas. Wauuu
…. Acara kesayanganku, kataku sendiri. Dan aku besarkan lagi suaranya.
Pikiranku
kini hanya tertuju pada radio itu. Kelana anganku tadi telah punah.
Acara
Lagu dan Kenangan yang diasuh oleh Kak NK. Nasti itu, memang salah satu acara
yang paling kusenangi disamping beberapa acara lainnya. Aku mengkosentrasikan
pikiranku.
Naskah
pertama mulai menggema. Kiriman seorang wanita, kedengarannya. Entah siapa
pengirimannya. Belum jelas kudengar. Aku mengikuti kandungan isi naskah itu
dengan penuh khidmat.
Tiba–tiba
aku kaget mendengarnya. Aku seolah–olah tidak percaya pada telingaku sendiri,
bahwa kisah itu benar–benar terjadi. Rasanya aku tak yakin. Sebab isinya
seolah–olah ditujukan kepadaku sendiri. Kalbuku bagaikan ditusuknya. Tapi aku
masih belum yakin..
Naskah
itu berisi seuntai keluhan dari seorang gadis yang telah cacat akibat ditabrak
kenderaan ketika ia pulang sekolah. Gadis itu sedang mengenderai sepedanya,
ketika musibah itu menimpanya. Kini gadis itu bagaikan putus asa dalam
hidupnya. Bahkan ingin bunuh diri, akibat cacat tubuhnya itu. Demikianlah
naskah tersebut, yang dapat kudengar lewat radioku. Benarkah ini? Atau hanya khayalannya belaka? Aku malah
bingung. Ragu. Dan ….sekaligus haru.
Tapi
kebingunganku itu akhirnya hilang. Aku semakin yakin bahwa deretan derita
penulis dalam naskah itu benar–benar ditujukan kepadaku. Setelah aku mendengar
penyiar menyebutkan bahwa naskah itu adalah kiriman Ema, yang kini bermukim di kota Padang.
Ema, Ema, Ema ……., nama itu berulang-ulang kuucapkan dalam hati, sementara
bayangan wajah gadis itu ikut memenuhi pikiranku.
Pasti.
Ini pasti. Naskah ini benar–benar buatku, aku mencoba meyakinkan diriku. Dia tentu
wanita itu menyesaliku. Atau lebih pantas memarahiku. Atau boleh jadi dia akan
menyumpahiku selama hidupnya. Karena akulah penyebabnya, hingga Ema harus menderita
cacat kakinya. Oh Ema. Ema. Mungkinkah ini, Ema? Aku mematikan radio itu,
sambil mengeluh panjang dalam kesedirianku. Kutercenung. Badanku seperti sedang
melayang. Hanya detak-detik jam vekker itu yang kembali terdengar.
Suasana
kamar yang berukuran empat kali tiga meter itu, kini jadi hening. Ku melamun.
Pikiranku melayang jauh ke masa lalu.
***
Peristiwa
yang menyebabkan Ema bernasib malang
itu terjadi dua tahun yang silam. Di kota Padang. Ketika itu aku
masih tinggal di sana
bersama ayah dan ibu serta tiga orang adikku. Dan aku baru kelas dua Es Em A di sana.
Pada
hari yang malang
itu, aku tidak masuk sekolah. Terus terang, hanya karena malas. Plus Pe Er
matematikaku belum kukerjakan. Dan aku takut pada guru itu. Akhirnya aku bolos
hari itu. Dan untuk mengisi waktu yang telah kucuri itu, aku mengajak Daniel,
teman karibku ke Maninjau.
Daniel
yang kebetulan punya sepeda motor pribadi ternyata tidak menolak ajakanku. Dan
kami pun berangkat meninggalkan kota Padang.
Tujuan
ke Maninjau memang tidak ada. Hanya sekedar mengisi waktu. Tidak lebih.
Aku
disuruh Daniel duduk di belakangnya. Nanti pulang baru aku yang membawanya,
begitu keputusan kami sebelum berangkat.
Dengan kecepatan tinggi, ia menancap Ge El-nya
itu.
“ Jangan terlalu ngebut!”, aku memberikan
peringatan dari belakang.
“ Ah tenanglah “, jawabnya enteng.
“ Tapi. Eh, tapi jalan ….. kan licin “.
“ Sebentar lagi, juga kering. Hujannya cuma
segitu “. Daniel kian menggila kurasa.
Di sebuah jalan lurus di depan sebuah Es
Em Pe, gasnya tambah meraung. Tapi kali ini aku tidak memberi peringatan apa–apa.
Jalannya lurus, memang.
Jauh di depan sana, ada seorang wanita
berpakain seragam putih-putih sedang mengenderai sepedanya. Tapi masih jauh
kulihat.
“ Klaksonnya “, kataku menyuruh ia
membunyikan klasksonnya. Dan gasnya tak perlu diturunkan. Karena wanita itu
masih tampak jauh. Apa lagi gadis itu
sudah berada di pinggir jalan sebelah kiri.
Ketika tiba–tiba motor kami telah dekat,
sepeda wanita itu merembet ke tengah lagi. Daniel tampak gugup dan tidak dapat mengelakkan
gadis itu. Dan …. paar, traak. “Aduh, up. Ast …“ kami terjatuh. Sepeda itu jadi sasaran motor
kami. Dan aku tak tahu lagi,
di mana aku waktu itu. Aku tak sadar.
***
Sore.
Ketika aku telah sadar, aku terkejut. Ternyata
aku telah berada di rumah sakit. Rumah Sakit Umum Pusat kota
Padang. Kulihat
di sekelilingku, ayah, ibu dan adik – adikku. Aku rasanya ingin menangis. Tapi,
tapi aduh … tubuhku terasa kaku. Aku tak bisa bergerak. Kepalaku diperban
dengan kain putih, penuh darah. Kakiku lagi diikat, biar tak bisa lagi
bergerak. Aku juga ingin bertanya tentang sesuatu.
Bagaimana
temanku, Daniel, atau wanita itu. Ah…Tapi
aku tak bisa berkata karena mulutku juga diperban. “Oh Tuhan, kenapa …
kenapa in… ini yang kualami? Maafkan aku ayah, ib …. Ib ….. ibbu, dan ………
dan ……….. Aduh…“.Hanya bathinku yang bisa menjerit.
“
Tenanglah. Kamu perlu istirahat“. Kalau aku tak salah dengar, suara itu adalah
suara ayahku. Kumelirik matanya. Syahdu. Haru. Dan aku pejamkan kembali mataku.
Aku tak berani menatapnya.
“
Ya nak. Supaya lekas sembuh“,
sambung ibuku.
Dan
aku tak mendengar lagi suara mereka. Aku tertidur. Duniaku lenyap seketika.
Lima bulan lamanya aku
jadi penghuni rumah sakit. Waktu yang cukup lama terasa oleh orang yang sedang
dalam penderitaan seperti aku waktu itu. Rasanya telah lima
tahun aku di sana.
Apalagi dukanya lebih kurasakan ketimbang sukanya. Yang makananku dibatasilah.
Yang layanannya tak menyenangkanlah, apa lagi jika aku menjerit kesakitan aku
akan dibentak susternya. Atau kalau aku
sering–sering buag air juga dibentak, sebab aku belum boleh berdiri, apalagi
berjalan. Dan masih sederet lagi suka-duka yang kurasakan, yang kesemuanya itu
terasa ikut memperpanjang waktu yang lima
bulan itu.
Baru
aku mengerti, ternyata menjadi orang sakit itu bukan menyenangkan meskipun
dirawat di ruang VIP sekalipun. Meskipun kita membayar yang merupakan
kewajiban, dan konsekuensinya tentu pula kita punya hak untuk dilayani
secukupnya, tapi ternyata hak itu tidak seperti yang kita bayangkan. Tegasnya
di rumah sakit ternyata tidak kita jumpai layanan seperti yang diberikan orang
tua kita sendiri. Memangkah harus begitu?.
Setelah
kesehatanku mulai pulih, dan aku sudah boleh keluar dari tempat penuh duka itu,
aku masih tetap berbangga serta bersyukur pada Tuhan, karena aku masih bisa
berjalan, berlari lambat, atau bekerja seperti biasa. Hanya jalanku sedikit
berubah dari sediakala. Karena menurut dokter yang merawatku, tulang pinggulku
bagian dalam sedikit pindah posisinya.
Tapi
aku boleh dikatakan masih beruntung. Sedangkan temanku Daniel, oh dia telah
tiada. Dia menghembuskan nafasnya yang terakhir ketika dia masih dalam
perjalanan (dari tempat kecelakaan kami menjelang ke rumah sakit). Dia tak
sempat dirawat. Karena kepalanya parah, terhempas ke aspal. Oh Daniel temanku!
Maafkan aku. Maafkan juga Ema! Aku seperti mengeluh dan menyesal.
“
Bagaimana dengan gadis itu, Pak?”. Pertanyaan itu pernah kulontarkan pada ayah,
ketika suatu malam kami sekeluarga mengadakan acara doa selamat untuk mengingat
empat puluh hari berpulangnya nenekku.
“Dia
lebih parah“, jawb ayahku singkat sambil menyulut sebatang Commodore.
“Iya, dia benar–benar parah “,
timpal ibuku pula.
“Tapi lebih parah Daniel, kan Pak?”,
kembali aku bertanya.
“Tentang Daniel, jangan disebut–sebut lagi.
Dia telah mendahului kita. Itu bukan parah lagi“, jelas ayahku.
“Tapi
…. “, suaraku terputus dipotong ayahku.
“Namanya itu fatal“.
Aku diam.
“Yang penting, kamu, kita semua
harus mendoakannya. Supaya dia diterima Tuhan di sisi-Nya. Dan segala
kesalahannya harus pula dimaafkan“, sambung ayahku lagi.
“Tapi, tapi pak …. hmm …. “, sekali lagi suaraku dipotong
ayahku.
“Sekarang semuanya telah berlalu.
Dia telah tiada. Kita percuma saja mengulanginya. Hanya pesan saya,
ingatlah kejadian itu. Dan jadikanlah itu sebagai lampu kuning dalam peringatan
hidupmu, yang sewaktu–waktu bisa saja menjadi lampu merah. Dan kau akan lebih menyesal ketika itu. Sebab penyesalan
itu mungkin tak berarti lagi nantinya“. Ayahku memberi nasehat. Nasehat yang
selalu disampaikan sebelumnya jika aku kecelakaan di jalanan atau berurusan
dengan polisi.
“Semua orang sebenarnya telah lama tahu
dan mengerti dengan watakmu. Siapa kamu, semua orang mengenalnya. Kalian
yang sudah sekian kali keluar masuk kantor polisi karena membawa kenderaan
tanpa SIM itu, juga diketahui orang. Hanya bapakmu ini saja yang selalu jadi
sasaran cemoohan masyarakat.”
“Ah
ayahnya ‘kan
orang tak asing lagi “, itu ejekan orang padaku. ”Sayang sekali tapi, kamu
hanya ngetop karena kebandelanmu. Itu tak berarti apa–apa. Hanya menjatuhkan
wibawa ayahmu ini saja. Membuat malu. Kamu harus tahu. Dan kinilah saatnya bagimu
untuk menyadari semua itu“.
Aku diam membisu. Tak berani
menjawabnya. Aku benar–benar menyesali kesalahanku selama ini. Dan ayahku
kembali berceramah.
“Setelah
kamu tidak masuk sekolah selama enam bulan ini, dan praktis satu semester tak
mengikuti pelajaran, maka untuk tahun depan kamu berhenti saja sekolah“
Ssrr…Aku
terkejut.
“Tapi
dia ‘ kan
masih bisa sekolah pak ?”, sela ibuku.
“Iya
pak, aku tetap mau sekolah pak. Aku sadar pak. Jangan pak, jangan berhentikan aku pak “, aku separoh meringis.
“Maksud saya bukan begitu“.
“Lantas?”, tanya ibu.
“Maksud saya, di sini, di kota ini dia
tidak saya izinkan sekolah lagi“.
“Maksud bapak?”, ibu terus bertanya.
”Kalau dia memang telah sadar, dan mau
sekolah lagi, nah carilah sekolah selain
di sini. Atau merantau. Mungkin dengan ini dia bisa lebih sadar, bu.
Atau lebih dewasa. Masalah belanja, tetap akan aku penuhi. Itu kewajiban, bukan?”.
Ayah menegaskannya.
“Dan
masalah …. “, aku ingin menanyakan masalah kecelakaan itu pada ayah. Bagaimana
penyelesaiannya, tapi untuk ketiga kalinya suaraku dipotong ayah.
“Kini kamu harus betul–betul sadar. Dan pikirkan kata–kata ayah itu dengan
baik. Kejadian yang telah lalu itu biar aku yang menyelesaikannya. Walaupun
sekarang gadis itu belum kembali dari Jakarta untuk mengobati kakinya yang
harus dipotong itu, tapi itu biarlah urusan ayah sendiri“, suara ayah terhenti
karena batuk. Dan, “minggu depan kamu akan saya antarkan ke Pekanbaru. Sekolah
di sana. Tuntutlah ilmu sebanyak–banyaknya. Kamu sudah, harus memikirkan
masa depanmu sendiri. Tapi ingat! Di rantau orang tidak sama dengan di tempat
kita sendiri. Oleh sebab itu tinggalkanlah sifatmu selama ini. Mengerti?”
Rasanya aku mau pingsan mendengar khutbah ayahku itu.
“Nah, sekarang pergilah istirahat ke sana“.
Ayahku menutup dan berhenti
berbicara. Lalu meninggalkan tempat itu. Aku pun berlalu pula dari ruangan itu.
Besoknya aku harus sudah berangkat meninggalkan kota Padang, kota kelahiranku.
***
Kini dua tahun telah berlalu. Dan
aku pun telah semakin sibuk dengan
pelajaranku. Sebagai seorang mahasiswa walaupun baru tingkat satu, tentu saja aku
harus memperhitungkan waktu–waktu yang kulalui ini.
Aku harus sibuk, demi masa depan tentunya.
Aku
kembali melamun. Mengingat isi naskah Ema tadi. Tapi aku hanya bisa berbicara
sendiri dalam hati. Ingin minta maaf, yah itu hanya pada diriku sendiri, sebab
dia telah jauh entah di mana. Ingin memberi semangatnya untuk hidup supaya dia
tidak merasa rendah diri dari temannya, itu juga tak ‘kan didengarnya. Oh Ema. Mungkinkah engkau
akan mendengar jeritan penyesalanku ini? Maukah engkau memaafkannya Ema? Ataukah engkau tetap akan menyembunyikan
dirimu, Ema?.
Ema!
Engkau tak bersalah. Kami yang bersalah. Namun sahabatku Daniel telah tiada.
Aku akan memikul penyesalan dan dosa itu sendiri, Ema. Aku ingin minta maaf kepadamu,
Ema. Dan … dan ….., sampai di sini
lamunanku buyar oleh seekor cecak yang terjatuh di depanku.
Aku
tersadar, ternyata jam vekker itu telah menunjukan angka dua belas. Dan aku pun
beranjak dari tempat itu. Untuk tidur. ***
*Dari buku Duka Cinta di Awal Cita
*Dari buku Duka Cinta di Awal Cita
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda