oleh: Nilna Iqbal
Suatu hari, seorang ibu bertanya pada saya, apakah anaknya yang masih berusia 6 tahun sudah bisa belajar menulis (mengarang)?
Sejenak saya tertegun.
Saya membuka kursus menulis memang sudah lama, sejak tahun 1990. Tapi semua
peserta yang saya bimbing umumnya kalangan remaja dan mahasiswa. Baru sejak
tahun 2004 saya mulai mengajar untuk orang dewasa kantoran
(perusahaan/instansi). Namun saya belum pernah membimbing anak-anak apalagi
yang masih TK. Itu sebabnya saya tertegun.
Tetapi selama saya berinteraksi dengan para mahasiswa saya ataupun para dosen, manager, eksekutif yang ikut kelas saya …ada satu kalimat yang paling sering keluar dari mulut mereka.
Tampaknya kalimat itu
telah jadi paradigma yang begitu kuat terbenam dalam bawah sadar mereka, yaitu:
menulis itu susah, menulis itu perlu bakat. Bahkan bagi kebanyakan orang,
ungkapan itu “sudah jadi sebuah kebenaran”.
Pertanyaannnya, dari mana datangnya paradigma itu? Sejak kapan? Mengapa ia kita percayai?
Sekarang saya merasa yakin sekali, bibit-bibit "keyakinan" itu bermula ketika kita masih kecil, ketika kita masih berusia dibawah 10 tahun. Ketika sambungan-sambungan sel-otak kita sedang “membangun dirinya”.
Pada waktu itu mungkin kita pernah mengalami pengalaman-pengalaman negatif tentang menulis. Bisa jadi ketika di sekolah. Tanpa sadar, tersimpanlah kalimat “menulis itu memang susah”.
Pertanyaannnya, dari mana datangnya paradigma itu? Sejak kapan? Mengapa ia kita percayai?
Sekarang saya merasa yakin sekali, bibit-bibit "keyakinan" itu bermula ketika kita masih kecil, ketika kita masih berusia dibawah 10 tahun. Ketika sambungan-sambungan sel-otak kita sedang “membangun dirinya”.
Pada waktu itu mungkin kita pernah mengalami pengalaman-pengalaman negatif tentang menulis. Bisa jadi ketika di sekolah. Tanpa sadar, tersimpanlah kalimat “menulis itu memang susah”.
Ketika peristiwa
sejenis berulang, kalimat itu tersimpan lagi. Terus berulang. Diperkuat lagi
oleh kata-kata teman-teman kita, kata-kata guru kita. Lama-lama kita pun
percaya. Lalu “mekanisme otomatis” di otak kita melumpuhkan kerja kreatif kita.
Begitu terus sampai kita dewasa.
Apa ini artinya bagi kita sebagai orang tua? Apakah kita ingin anak-anak kita juga menyimpan “kalimat” itu? Tentu tidak bukan?
Karena itu mari kita berikan “pengalaman yang berbeda” kepada anak-anak kita. Bantu mereka agar mampu berkomunikasi, tidak hanya dalam berbicara, tetapi juga dalam menulis makna-makna.
Apa ini artinya bagi kita sebagai orang tua? Apakah kita ingin anak-anak kita juga menyimpan “kalimat” itu? Tentu tidak bukan?
Karena itu mari kita berikan “pengalaman yang berbeda” kepada anak-anak kita. Bantu mereka agar mampu berkomunikasi, tidak hanya dalam berbicara, tetapi juga dalam menulis makna-makna.
Bukan menjadi penulisnya yang penting. Yang jauh lebih penting lagi adalah ketika mereka tak lagi menganggap menulis itu susah. Ketika mereka suka menuliskan apapun yang ingin mereka sampaikan. Ketika mereka menjadi kreatif karena “otak kanan” nya bekerja dengan baik.
Kita perlu membuat anak-anak kita “suka” membaca dan sekaligus suka menuliskannya. Ketika terbit rasa cinta mereka pada kegiatan membaca dan menulis .. ini sungguh akan luar biasa sekali dampaknya.
Seharusnya kita pasang poster besar di dinding rumah kita, pesan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”
Bagaimana menurut Anda?
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda