SESEORANG bernama Siswa disuruh oleh
seseorang bernama Guru. Guru menyuruh membuat karya tulis secara spontan.
Temanya, yang lagi hangat saat ini, tentang korupsi. Jelasnya bagaimana
memberantas korupsi di negeri yang dasar bernegaranya adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa yang mengutamakan agama. Rakyat negara mengartikan dasar Negara itu sebagai agama, tentu tidak salah. Rakyat
Negara ini mengakui agama. Rakyat merasa diwajibkan beragama. Rakyat juga
diberi tahu bahwa Agama mengharamkan perbuatan korupsi. Nyatanya korupsi terus ada dan berkembang maju.
Guru termenung. Obsesinya agar siswa
bisa menulis adalah satu masalah yang menjadi renungan. Yang membuat kepalanya pusing dan serasa
pecah karena si Siswa tidak bisa juga menulis seperti yang dia inginkan. Masalah
topik dan tema tulisan apa yang akan ditulis adalah masalah lain sebenarnya.
Mulut Guru seperti komat-kamit. Ditilik
dari dasar bernegara yang meyakini adanya Tuhan dalam kehidupan, rasanya tidak
akan ada masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum seperti melakukan korupsi
uang negara yang sesungguhnya uang rakyat. Rakyat negeri ini percaya
betul kalau Tuhan mengharamkan perbuatan korupsi. Tuhan pasti mengutuk dan
mengancam dengan azab-Nya kalau melakukan pelanggaran hukum seperti melakukan
korupsi,
Tapi nyatanya, di negeri tercinta
ini tidak sulit menemukan manusia-manusia yang melanggar hukum. Baik hukum
dalam berbangsa dan bernegara maupun hukum yang diatur Tuhan. Orang sepertinya
tidak takut dosa, sama dengan tidak takutnya dengan hukuman dunia yang diatur
manusia. Maka bermaharaja-lelalah pengkhianat-pengkhianat rakyat yang melakukan
korupsi.
Duri-duri tajam serasa menusuk jalan
pikiran Guru. Siswa yang sedari tadi
ditatap dengan lembut penuh kasih tiba-tiba menghilang. Pandangan Guru serasa
gelap. Guru benar-benar merasa tidak melihat Siswa sedikitpun. Nanar. Kemana
dia? Kemana Siswa bersembunyi? Apa dia tidak mau melaksanan tugas yang akan
saya berikan?
Guru ini, ingin sekali siswanya
memikirkan masalah korupsi. Berbuat sedikit untuk memberantas korupsi. Kalau
memberantas korupsi dimulai dari bangku sekolah, mana tahu suatu hari nanti
–setelah pengkhianat dan pencoleng uang rakyat sekarang ini sudah pada mampus–
tak ada lagi orang korupsi. Jadi, tema karangan hari ini sengaja dipilih
tentang korupsi. Tentang bagaimana membasmi korupsi.
“Ayo, bersiap. Jangan ada yang
menolak praktik hari ini. Tema juga saya yang menentukan kali ini. Anda sudah
terlalu bebas selama ini,” Guru agak bersuara keras berbanding biasanya. Apakah
Guru geram dengan banyaknya episode kisah korupsi saat ini?
Di Koran, di majalah dan di televise
banyak sekali berita korupsi. Dia membaca birokrat banyak sekali lagi menjadi
tersangka korupsi. Dia menghitung ada tujuh belas orang gubernur yang sudah
diproses karena diduga menilep uang rakyat. Berarti hampir enam puluh persen
dalam Negara ini yang korupsi. Dan berapa orang bupati? Dia bertanya di hati.
Berulang-ulang Guru memantapkan
pikirannya. Dia harus menyuruh Siswa menulis tentang tema ini.
Akhirnya si siswa berpikir membuat
karangan dengan judul “Sekolah Tempat Belajar Koruptor”. Haah? Tentu saja
gurunya kaget, ketika mengetahui judul itu tidak sopan, menurut versi sang
guru. Mana mungkin ada sekolah tempat belajarnya para koruptor? Atau mana ada
orang belajar bagaimana melakukan korupsi di sekolah? Judul yang dipikirkan
siswa ini berbahaya, pikir guru. Judul itu tidak harus seperti itu.
Si siswa bertahan dengan judul itu,
ketika sang guru mempersoalkannya. Menurut guru judul itu rada memfitnah. Tapi
siswa ngotot, “Ini tidak akan berisi fitnah,” bantahnya mempertahankan. Dia
ingin terus menulis dengan judul yang sudah dia buat. Menurutnya, itu sudah
sesuai dengan yang diminta sang guru. Akhirnya, gurunya mengizinkan meneruskan
menulis karangan itu. Kata guru dalam hatinya, anak memang harus kreatif dan
imajinatif. Hanya di lubuk hatinya, ada risau dan galau.
Dengan lancar si siswa menulis
tentang seluk-beluk korupsi. Bagaimana korupsi sampai terjadi. Tapi begitu
panjang karya tulis si siswa, guru hanya membaca dua kesimpulan terakhir dari
karangan itu yang menjelaskan, bagaimana hubungan sekolah dengan korupsi. Kesimpulan
ini pun sang guru yang membuatnya.
Kalau begitu, anak ini pasti ingin
membuat kesimpulan begini, 1) Semua koruptor yang ada sekarang, baik
yang sudah tertangkap maupun belum; baik yang sudah dipenjara karena tak
sanggup menyogok polisi, hakim dan jaksa maupun yang bebas
berkeliaran karena mampu menyuap penjaga penjara, itu semua dulu adalah produk
sekolah. Artinya dia memang menjadi koruptor karena sekolah.
Kesimpulan lain yang terbaca guru di
akhir tulisan itu adalah, 2) bahwa di sekolah memang banyak korupsi
terjadi, yakni guru-guru yang memberi nilai siswa tidak sesuai dengan kemampuan
siswa yang sebenarnya. Siswa bodoh tetap saja diberi nilai lulus. Guru-guru
juga membohongi masyarakat dengan tidak mengajar dengan benar tapi tetap saja
menerima gaji setiap awal bulan. Ho ho ho.
Wah, terang saja sang guru emosi
membaca kesimpulan tulisan itu. Ini tidak mungkin, keluhnya. Tapi tulisan itu terlanjur diinput ke blog si
siswa yang memang sudah merupakan media pembelajaran menulis di sekolah itu.
Maklum, di sekolah ini penggunaan internet sudah menjadi syarat seorang siswa
dalam mengikuti pembelajaran. Dan si guru sudah terbiasa menyuruh siswa menulis
di blog masing-masing. Nanti guru akan membaca dan memeriksa tulisan itu dari
rumah saja. Dan itu bukan korupsi menurut guru. Kerja sekolah dibuat di rumah
tidak berdosa, katanya.
Tapi kali ini gurunya menyesal
menyuruh menulis langsung di blog. Pasti seluruh dunia tahu kalau di sekolah
ini korupsi nilai masih terus meraja-lela. Memang jadi susah, katanya dalam
hati. Giginya gemercik karena geram. “Jangan-jangan siswa ini masih melanjutkan
cerita korupsi lain yang ada di sekolah ini,” kata sang guru dengan khawatir
sekali.
Ketika bel berbunyi tanda jam
pelajaran itu usai, sang guru lupa menyuruh siswa untuk berhenti bekerja. Dia ngeluyur
begitu saja meninggalkan kelas.
* Sudah pernah dipublish di www.kompasiana
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda