TERNYATA tugas guru di sekolah (satuan pendidikan) tidak hanya mengajar, mentransfer ilmu kepada peserta didik (siswa) atau melatihnya. Ada tugas berat lain, yang sekali dalam satu tahun justeru menjadi terasa lebih berat keberadaannya. Tugas berat ini memang tidak tertulis dan tidak ada perintah undang-undangnya. Tugas ini benar-benar konsekuensi dari perubahan peraturan kelulusan di satuan pendidikan itu sendiri.
Sejak ketentuan kelulusan peserta didik tidak lagi dikaitkan dengan nilai UN (Ujian Nasional) seperti tahun-tahun berlalu, ternyata motivasi siswa untuk mendapatkan nilai UN tidak lagi setinggi di masa lalu itu. Bahkan motivasi sekolah secara institusi pun tidak lagi setinggi sebelumnya untuk mendapatkan nilai tinggi. Ketika kelulusan siswa harus ditentukan oleh perolehan nilai UN, maka nilai UN itu sendiri menjadi sesuatu yang penting oleh sekolah dan juga oleh siswa.
Pentingnya nilai UN karena nanti akan dikombinasikan dengan nilai-nilai yang sudah ada --dari SM III-V untuk SLTA-- untuk mendapatkan minimal tertentu yang ditetapkan Pemerintah. Misalnya, kombinasi itu minimal mendapat nilai rerata 5.5 (rentang 1-10) baru dinyatakan lulus. Padahal, pengalaman yang sudah ada selalu menjelaskan bahwa para peserta UN tidak mudah mendapatkan angka di atas lima. Maka sekolah akan merekayasa nilai lainnya di atas angka lima agar nanti reratanya tetap bisa sebagaimana ketentuan. Itulah kenyataan sebelumnya.
Kini, dengan ketentuan baru bahwa kelulusan sepenuhnya ditentukan sekolah (tanpa pengaruh besaran nilai UN) maka oleh Pemerintah kebijakan itu dimaksudkan agar pelaksanaan UN berjalan sesuai ketentuan. Jika sebelumnya banyak terjadi kecurangan --oleh siswa bahkan oleh sekolah-- karena menginginkan nilai UN yang tinggi agar bisa lulus UN, diharapkan dengan kebijakan baru ini tidak perlu lagi terjadi kecurangan seperti mencontek itu. Pihak sekolah melaksanakan UN sesuai aturan dan peserta UN-pun diharapkan mengikuti UN dengan kejujuran. Siswa tidak perlu terbebani nilai UN untuk mendapatkan kelulusan di satuan pendidikan.
Ternyata kebijakan baru ini juga menimbulkan pengaruh buruk kepada peserta didik. Mereka, karena sekolah sudah menjelaskan perihal fungsi nilai UN adalah untuk pemetaan, bukan kelulusan, maka sikap siswa ternyata malah menyepelekan persiapan menghadapi UN. Toh kami akan lulus tanpa nilai UN yang tinggi, begitu kira-kira sikap mereka. Tentu saja ini akan menimbulkan masalah lain, siswa akhirnya tidak akan bisa lulus UN.
Inilah tugas berat guru, meyakinkan peserta UN agar mampu lulus UN, tidak sekadar lulus dari satuan pendidikan saja. Lulus UN tetap saja dengan standar nilai tertentu. Nilai 'cukup' misalnya dengan standar minimal 50.50. Dia atas nilai cukup ada nilai baik dan amat baik dengan standar nilai yang memang sudah ditetapkan Pemerintah. Siswa, minimal untuk mendapat standar lulus minimal saja harus mampu meraih nilai itu. Mampukah siswa?
Inilah tugas berat guru yang lain. Terbukti mayoritas siswa di sekolah umum belum mampu meraih nilai minimal UN untuk kelulusan. Jika siswa hanya berpikir ingin lulus sekolah saja, tentu saja usaha 'gigih' mereka tidak akan muncul karena menganggap tidak terlalu penting. Guru harus meyakinkan mereka agar berusaha untuk lulus UN, bukan lulus di satuan pendidikan saja. Bisakah? Mari kita (guru) tepuk dan tanya selera masing-masing.***
Kini, dengan ketentuan baru bahwa kelulusan sepenuhnya ditentukan sekolah (tanpa pengaruh besaran nilai UN) maka oleh Pemerintah kebijakan itu dimaksudkan agar pelaksanaan UN berjalan sesuai ketentuan. Jika sebelumnya banyak terjadi kecurangan --oleh siswa bahkan oleh sekolah-- karena menginginkan nilai UN yang tinggi agar bisa lulus UN, diharapkan dengan kebijakan baru ini tidak perlu lagi terjadi kecurangan seperti mencontek itu. Pihak sekolah melaksanakan UN sesuai aturan dan peserta UN-pun diharapkan mengikuti UN dengan kejujuran. Siswa tidak perlu terbebani nilai UN untuk mendapatkan kelulusan di satuan pendidikan.
Ternyata kebijakan baru ini juga menimbulkan pengaruh buruk kepada peserta didik. Mereka, karena sekolah sudah menjelaskan perihal fungsi nilai UN adalah untuk pemetaan, bukan kelulusan, maka sikap siswa ternyata malah menyepelekan persiapan menghadapi UN. Toh kami akan lulus tanpa nilai UN yang tinggi, begitu kira-kira sikap mereka. Tentu saja ini akan menimbulkan masalah lain, siswa akhirnya tidak akan bisa lulus UN.
Inilah tugas berat guru, meyakinkan peserta UN agar mampu lulus UN, tidak sekadar lulus dari satuan pendidikan saja. Lulus UN tetap saja dengan standar nilai tertentu. Nilai 'cukup' misalnya dengan standar minimal 50.50. Dia atas nilai cukup ada nilai baik dan amat baik dengan standar nilai yang memang sudah ditetapkan Pemerintah. Siswa, minimal untuk mendapat standar lulus minimal saja harus mampu meraih nilai itu. Mampukah siswa?
Inilah tugas berat guru yang lain. Terbukti mayoritas siswa di sekolah umum belum mampu meraih nilai minimal UN untuk kelulusan. Jika siswa hanya berpikir ingin lulus sekolah saja, tentu saja usaha 'gigih' mereka tidak akan muncul karena menganggap tidak terlalu penting. Guru harus meyakinkan mereka agar berusaha untuk lulus UN, bukan lulus di satuan pendidikan saja. Bisakah? Mari kita (guru) tepuk dan tanya selera masing-masing.***
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda