SATU pagi, di hari Rabu, 28 Desember 2016 di
Pulau Pinang, Malaysia. "Ncik, ncik, sinilah!" Tiba-tiba ada seorang
wanita memanggil saya. Saya heran, siapa dia. Pagi-pagi begini dia melambaikan
tangan dan memanggil saya dengan senyum tulus bagaikan dia sudah begitu
mengenal saya. Menjelang sampai ke posisi dia berdiri, saya masih meneruskan
langkah berlari kecil saya subuh itu.
Mungkin karena saya tetap berlari-lari kecil,
saya melihat dia masih melambaikan tangannya sambil masih pula memanggil dengan
sebutan 'ncik' itu. Seorang wanita, di pagi selepas solat subuh begitu, di
negeri orang, tentu membuat saya curiga dan khawatir juga. Ah, mungkin wanita
pekerja pabrik atau kerja apa yang mau bersiap-siap menanti transportasi untuk
ke tempat kerja. Saya berusaha menepis kemungkinan dia adalah wanita malam yang
gentanyangan pagi buta, seperti sering ada di kota-kota. Saya mencoba saja
mendekatnya.
"Ncik sudah biasekah maraton pagi-pagi
begini?" Sambil sedikit tersenyum wanita dengan mata setengah sipit tapi
berkulit rada gelap itu kembali menyapa saya dengan pertanyaan begitu. Logat
Melayunya sangat kental. Saya pastikan, dia bukan TKI dari Indonesia yang
sangat ramai di negeri jiran ini. Bahasa dan gaya intonasinya itu membantu saya
menyimpulkan begitu.
Saya semakin tidak khawatir karena dia semakin
banyak berbicara terutama masalah kesehatan. Akhirnya sambil terus menggerakkan
kedua kaki, saya mencoba melayni pertanyaannya yang semakin terasa akrab dengan
saya. Saya jelaskan bahwa dua pagi ini (Selasa dan Rabu itu) selepas solat
subuh di hotel, saya memang pergi keluar hotel untuk berjalan pagi. Sambil
melihat-lihat negeri orang, saya berolahraga kecil. Saya berlari dan bersenam
ala kadarnya. Saya jelaskan itu kepada wanita itu. Saya jelaskan bahwa saya dan
beberapa rekan anggota MKKS Kabupaten Karimun beserta tengah berada di Pulau
Pinang setelah sehari sebelumnya di Pulau Langkawi.
"Maaf, Ncik, saye bukan pakar, tak pintar
maratonlah. Saya cuma baca-baca di internet. Tengok gaya berlari Ncik tadi, itu
bisa merosak lutut atau tumit Ncik. Apalagi umur sudah lebih," saya
terkejut, ternyata dia memperhatikan cara berlari saya pagi itu. Katanya,
sebaiknya berlari ikut gaya orang maraton. Berat badan tidak boleh bertumpu
penuh pada lutut atau tumit. Pinggang juga sebaiknya lebih bergerak, katanya
seperti menasehati saya. Wow, saya tambah kagum pada wanita setengah baya itu.
Saya duga usianya antara 30-40 tahun.
"Saya punya costomer, sudah usia 80
tahun. Maaf Ncik, dia punya batang masih kuat." Sir... saya terkejut. Saya
mulai berpikir dan bertanya, siapa sebenarnya wanita ini. Dengan enak dan
ringan dia menyebut alat kelamin laki-laki itu. Berarti dia benar wanita malam,
kata saya dalam hati. Tapi saya berusaha untuk tidak menampakkan wajah
terkejeut atau berubah. Dua orang wanita di seberang jalan tempat saya dan dia
berdiri menjadi perhatian saya, apakah itu teman-temannya? Kedua orang itu
berdiri seperti menunggu seseorang atau boleh jadi menunggu teman-temannya.
"Itu rekan-rekan awak, ya?" tanya saya
sambil menunjuk dua wanita itu.
"Ya, itu satu pondan, satu lagi wanita macam
sayelah," jelasnya. "Nama saya Acu," katanya tanpa saya tanya.
"Maaf, ncik Acu kerja apa, maksud saya
bertugas di mana?"
"Saya pelacur," katanya polos tanpa
merasa segan dan sama sekali tidak seperti menutup apapun ketika mengucapkan
kata pelacur kepada saya. Sebelum saya sempat bertanya sudah berapa lama, dia
mengatakan, "Saye sudah 10 tahun kerja ini, Ncik." Dia juga menjelaskan
kalau keluarganya, ayah dan ibu sudah tak ada. Saya tidak bertanya, apakah dia
mempunyai anak atau saudara lainnya.
Pembicaraan kami justeru semakin serius
tentang kesehatan. Bagaimana menjaga kesehatan, khususnya bagi seorang
laki-laki agar disayang isteri, katanya, itulah yang mendominasi bual kami pagi buta itu. "Ncik, kene jage milik Ncik itu. Lelaki tuh
memanglah tidak sama kami perempuan. Lelaki sampa bile-bile, masih terus bisa
main. Beda dengan kami orang," katanya. Dia benar-benar serperti mengerti dan
menguasai bagaimana cara menjaga keserhatan seorang laki-laki. Hmm, mimpi apa
saya malam tadi, sampai jumpa seorang wanita yang dengan polos mengakui dia seorang pelacur. Boleh jadi ada yang benci, bahkan jijik mendengar kata itu tapi nasehatnya
sungguh mengagumkan bagi saya. Dia bercerita tentang banyak pelanggannya yang bermacam pula kenyataannya. Dia mengulang seorang langganannya yang sudah umur tua itu tapi masih kuat, katanya. Ada pula yang masih usia muda, tapi cepat 'habis' katanya.
Acu memuji kebiasaan saya berolahraga berlari setiap pagi.
Padahal sesungguhnya berlari pagi hanya ketika saya berada di luar daerah yang kebetulan menginap di hotel. Jika di rumah, saya hanya olahrag sore saja. Dia mengingatkan agar tidak dipaksa berlari atau jogging yang tidak
sesuai untuk usia seumur saya. Dia juga mengingatkan saya agar mau ikut
olahraga fitnes atau berenang secara rutin. Wow, untuk yang dua ini saya memang jarang atau
tidak pernah.Apalagi yang namanya fitnes, saya malah belum pernah.
Pulau Pinang, ternyata meninggalkan sesuatu yang layak dikenang. Seorang perempuan berprofesi sebagai pelacur memberikan nasihat yang cukup berharga bagi saya sepagi itu. Dan ketika saya beritahu bahwa saya seorang guru, diapun tambah akrab dan hormat. "Ha, Ncik seorang chekgu ya?" katanya saat saya beri tahu saya adalah seorang guru. Pembicaraan berhenti karena saya harus segera ke hotel. Pagi itu sesuai jadwal, kami harus segera chek out untuk meneruskan perjalanan ke Kuala Lumpur.
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda