Dari Google.com |
Tapi tahukah kita bahwa pesan itu ternyata enaknya hanya diucapkan tapi belum tentu enak dibuktikan dalam tindakan dan perbuatan? Nyata dan ada, dalam kehidupan yang sering kita saksikan lebih banyak orang mudah mengucapkan tapi berat alias pahit untuk melaksanakan. Ringan di lidah tapi begitu berat di tangan atau anggota badan lainnya.
Di bulan mulia, Ramadhan penuh berkah sejatinya pesan mulia itu mau dan mampu dibuktikan umat atau oleh kita yang berpuasa. Puasa yang mengajarkan keikhlasan dan kejujuran, seharusnya sekaligus mampu mengarahkan para -shoimat untuk tidak sekadar mementingkan kepentingan pribadi saja. Dengan puasa yang mengajarkan rasa lapar sebagaimana dirasakan oleh para pakir-miskin, sudah seharusnya membuka mata untuk merasakan dalam tindakan apa yang dirasakan mereka yang hidup serba kekurangan. Kiranya kita lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan para pakir-miskin atau siapapun yang membutuhkan atas dasar perasaan yang kita alami dalam menunaikan puasa.
Tapi banyak kejadian yang kelihatan, itu ternyata benar-benar tidak mudah untuk dilaksanakan. Konsep dan pesan agar lebih mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri, itu hanya enak disebut saja. Bahwa beberapa orang berhasil membuktikannya, memang iya. Tapi jumlahnya tidak seberapa. Justeru yang lebih banyak itu adalah yang tetap lebih mengutamakan diri sendiri atau golongannya dari pada orang lain.
Kasus-kasus hukum yang membuat 'pusing' KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau Polisi dan Jaksa sesungguhnya terjadi tersebab pelakunya tidak mengamalkan ajaran ini. Para koruptor itu adalah sosok yang tetap saja mementingkan kepentingan pribadi atau keluarganya dalam tindak-tanduknya. Jika saja masih berpikir tentang kepentingan orang lain atau kelompok yang lebih banyak, dipastikan dia tidak akan melakukan pelanggaran hukum itu. Peraturan (umum) sudah menentukan pengelolaan keuangan (anggaran) itu bagaimana. Tapi tetap tidak dipatuhi karena tetap mementingkan keinginan sendiri.
Berharap agar Ramadhan mampu mengubah sikap individualistis itu, boleh-boleh saja. Tapi apakah akan berhasil sesuai harapan itu, mungkin harus menunggu menjelang akhir Ramadhan. Menjelang sepekan berlalunya Ramadhan, bolehlah kita cepat-cepat mengukur sambil tetap saling mengingatkan bahwa kepentingan bersama itu memang menjadi pesan utama dalam amalan puasa. Jika puasa ingin ada gunanya dalam kehidupan, maka jangan lagi sikap individualistis yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga saja, terus-menerus di amalkan. Walau berat dan pahit terasa untuk dibuat, tetaplah berusaha untuk melakukannya.***
Di bulan mulia, Ramadhan penuh berkah sejatinya pesan mulia itu mau dan mampu dibuktikan umat atau oleh kita yang berpuasa. Puasa yang mengajarkan keikhlasan dan kejujuran, seharusnya sekaligus mampu mengarahkan para -shoimat untuk tidak sekadar mementingkan kepentingan pribadi saja. Dengan puasa yang mengajarkan rasa lapar sebagaimana dirasakan oleh para pakir-miskin, sudah seharusnya membuka mata untuk merasakan dalam tindakan apa yang dirasakan mereka yang hidup serba kekurangan. Kiranya kita lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan para pakir-miskin atau siapapun yang membutuhkan atas dasar perasaan yang kita alami dalam menunaikan puasa.
Tapi banyak kejadian yang kelihatan, itu ternyata benar-benar tidak mudah untuk dilaksanakan. Konsep dan pesan agar lebih mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri, itu hanya enak disebut saja. Bahwa beberapa orang berhasil membuktikannya, memang iya. Tapi jumlahnya tidak seberapa. Justeru yang lebih banyak itu adalah yang tetap lebih mengutamakan diri sendiri atau golongannya dari pada orang lain.
Kasus-kasus hukum yang membuat 'pusing' KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau Polisi dan Jaksa sesungguhnya terjadi tersebab pelakunya tidak mengamalkan ajaran ini. Para koruptor itu adalah sosok yang tetap saja mementingkan kepentingan pribadi atau keluarganya dalam tindak-tanduknya. Jika saja masih berpikir tentang kepentingan orang lain atau kelompok yang lebih banyak, dipastikan dia tidak akan melakukan pelanggaran hukum itu. Peraturan (umum) sudah menentukan pengelolaan keuangan (anggaran) itu bagaimana. Tapi tetap tidak dipatuhi karena tetap mementingkan keinginan sendiri.
Berharap agar Ramadhan mampu mengubah sikap individualistis itu, boleh-boleh saja. Tapi apakah akan berhasil sesuai harapan itu, mungkin harus menunggu menjelang akhir Ramadhan. Menjelang sepekan berlalunya Ramadhan, bolehlah kita cepat-cepat mengukur sambil tetap saling mengingatkan bahwa kepentingan bersama itu memang menjadi pesan utama dalam amalan puasa. Jika puasa ingin ada gunanya dalam kehidupan, maka jangan lagi sikap individualistis yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga saja, terus-menerus di amalkan. Walau berat dan pahit terasa untuk dibuat, tetaplah berusaha untuk melakukannya.***
Suai! mantap!
BalasHapusSuai dan mantap apanya, Pak Syaiful? Sekali-sekali kirimlah tulisannya ke sini, hehe.
BalasHapus