Sudah
saatnya kapal ini kau layarkan.
Meninggalkan
dermaga hatiku yang telah kau singgahi.
Berlayarlah
jauh sejauh mata yang tak mampu memandang.
Sangat
jauh dari hingar bingar yang dapat ku dengar.
Hingga
bayang mu tak menari di lensa, nyanyi mu tak memerdukan telinga.
Berlayarlah
jauh, arungi dentuman ombak nasib yang mendatang.
Tantanglah
kekuatan angin yang menerjang layarmu.
Topanglah
hujan yang membadai badan kapalmu.
Nahkodai
kapalmu, kendalikan syahwatmu, agar kau tahu birunya laut yang bersahabat.
Ini
air mataku yang terakhir, mengantarmu untuk berlayar.
Biarlah
terkuras habis tak bersisa air mata ku, agar tak ada lagi tangis untuk mu saat
kau tak disampingku.
Biarlah
kutuangkan air mataku, untuk kau yang terakhir, karena esok haram air mataku
menangisi engkau.
Yang
tak pantas adalah aku untuk engkau.
Jangan
kau risaukan airmataku, berlayarlah jauh.
Cari
dermaga yang mampu merampungkan cintamu.
Bersandarlah
pada dermaga itu, agar tak ada lagi air mataku terakhir.
Guntung
Punak, 20 Febuari 2014
Mengapa
Aku Sarjana
Mengapa
aku sarjana?
Saat
rezeki yang ku kais, tapi ibu ku masih selalu menangis
Saat
tawa ku penuh semangat, tapi Ayah ku masih memeras keringat.
Mengapa
Aku sarjana?
Saat
aku sedang mengeja, tapi saudara ku masih buta aksara.
Saat Aku
memanen buku, tapi adikku hanya gigit kuku.
Saat
laptop ku bergambar apel, tapi adik ku masih bermain ketapel
Mengapa
aku sarjana?
Ketika
ayam berebut jagung, tapi aku masih asyik termenung
Ketika
kopi tak lagi hitam, tapi aku masih terdiam.
Ketika
matahari sudah terbit, tapi mata ku enggan mengintip.
Mengapa
aku tetap sarjana?
Andai
jiwa masih mencumbu sombong, dan tutur masih berkata bohong.
Andai
orang selalu terluka, dengan sikap ku yang semena-mena.
Mengapa
aku harus Sarjana
Karena
aku ingin bercinta, dan sebagai syarat berumah tangga.
Karena
niat ingin menjalin, sampai menghutang untuk mas kawin.
Dan
akhirnya,
Aku
tidak mau sarjana,
Jika
mengawali sebuah cerita, tapi Bismillah masih ku lupa.
Jika
Azan masih bergema, tapi karya mengajak lupa.
Jika beribadah
hanya untuk pahala, jika masih ingat surga dan neraka.
Dengan
semua itu, mengapa aku sarjana?
Dengan
semua itu, aku belum pantas disarjana.
Pekanbaru, 05 Mei 2014
Sarjana Pendidikan
Sebuah cacatan sejarah telah
merangkai kisah dan peristiwa
Menjadikan tong untuk menampung
perjalanan yang menambah goresan pada
nama.
Dan akhirnya menganggap
Rasa bangga pada hati yang
kadang tak tahu mana tanggung jawab.
Kerasnya kursi universitas, dan
terbuangnya rupiah pada kertas-kertas
Berupaya menjadi berkas,
sebagai tanda diri berlegalitas.
Walaupun tahu terkdang hanya sebagai formalitas.
Bagian itu juga menjadi catatan
sejarah yang bisa membekas.
Sejarah juga mencatat,
Tentang perilaku.
Yang bersengama dengan buku,
Berharap untuk mengenyangkan
otak dengan ilmu,
Yang bercumbu dengan pengalaman
menjadikan ia guru.
Yang kau dapatkan dari kata
pepatah mu.
Meresapkan teori demi teori,
berkicau dengan otak mu.
Perangai itu tak kan pernah
membuat malu.
Sarjana pendidikan
Tanda jasa perih karya, perih
jiwa, luka nilai, dan upah letih.
Sarjana pendidikan
Telah merangkai sejarah
perjalanan kisah mu,
Untuk menambahkan gelar pada
nama mu,
tanpa kau maknakan jadi apa
akhirnya dirimu.
Berkacalah pada sejarah kisah
mu, yang telah memiliki gelar pada nama,
Yang telah membawa pada toga
wisuda,
Yang telah mengiring rasa
bangga,
Untuk menjadi seorang sarjana.
Minggu Terkahir, September 2013
Pendopo FKIP UIR
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda