"RATA-rata nilai UN (Ujian Nasional) tahun 2016 menurun, tapi indeks integritas meningkat". Itu pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan ketika memberi penjelasan hasil UN yang baru saja diumumkan hasilnya pada hari Sabtu (07/05) itu. Di antara rendah dan menurunnya nilai rata-rata UN SMA sederajat di satu sisi, dan kian tingginya nilai indeks integritas pelaksanaan ujian di sisi lain, tentu saja bisa bermakna ganda pernyataan Pak Menteri itu. Jika berharap nilai tinggi (angkanya), ini jelas berita tidak baik. Tapi jika berharap pelaksanaan UN semakin jujur (sikapnya), inilah berita terbaiknya. Lalu bagaimana kita memandangnya?
Memang sudah saatnya semua pihak mengubah paradigma angka (perolehan nilai ujian saja) kepada tingkah-laku atau perbuatan sehari-hari sebagai bukti pengaruh pendidikan (sikap). Jika selama ini keberhasilan ujian hanya semata diukur dari angka berapa capaian kompetensi lulusannya, ke depan angka itu saja tidaklah cukup. Harus dibuktikan apakah angka-angka itu mencerminkan perbuatan dari yang mempunyai angka itu atau tidak?
Setelah diubahnya kebijakan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan oleh Pemerintah, pandangan masyarakat khususnya stack holders sekolah ternyata juga ikut berubah. Terutama siswa dan orang tua/ wali yang selama ini begitu khawatir setiap pelaksanaan UN, kini tidak lagi begitu merisaukannya. Jika dulu, setiap akan datangnya UN setiap siswa dan orang sangat takut akan tidak lulus, kini ketakutan itu sudah tidak ada. Kalau dulu, begitu sibuk ingin menambah jam belajar (ada jadwal tamabahan/ terobosan) demi mendapatkan nilai UN agar lulus, kini malah adem-ayem saja. Gairah untuk belajar ekstranya seperti tidak ada lagi.
Ketakutan selama ini adalah karena persyaratan nilai UN adalah menjadi salah satu penentu kelulusan di satuan pendidikan. Jika siswa tidak mampu mencapai nilai minimal 55 --ketentuan yang ditetapkan Pemerintah-- dari nilai maksimal 100 yang ditentukan, maka siswa bersangkutan tidak dapat dinyatakan lulus walaupun semua nilai lainnya memenuhi syarat. Artinya, pada tahun itu belum akan mendapat ijazah bukti tamat sekeolah. Padahal untuk mendapatkan angka 55 memang tidaklah mudah selama ini, walaupun angka itu hanya setengah dari nilai maksimal yang ada.
Kini, dengan dihilangkannya persyaratan nilai UN maka setiap siswa dapat dinyatakan lulus (tamat) dari sekolah jika persyaratan yang sepenuhnya ditetapkan sekolah terpenuhi. Saat ini persyaratan yang ditentukan sekolah --sesuai POS UN-- antara lain memperoleh nilai budi pekerti minimal 'baik', sudah menyelesaikan semua program pembelajaran sejak kelas awal hingga kelas akhir, lulus dalam Ujian Sekolah (dengan standar nilai yang ditentukan oleh sekolah) dan beberapa kriteria yang tak terkait dengan UN.Kelulusan itu, kini benar-benar menjadi otoritas sekolah. Tentu saja, ini sudah sangat memudahkan siswa karena semua nilai akan ditentukan oleh sekolah.
Ternyata, implikasi dari perubahan kebijakan dan peraturan itu telah menimbulkan sikap 'mengentengkan' oleh para siswa terhadap keharusan belajar giat untuk mencapai nilai tertentu. Harus diakui, kesalahan selama ini adalah masih adanya sikap tidak/ kurang obyektif dari pihak sekolah dalam memberikan nilai hasil ujian kepada siswa. Siswa sendiri juga merasakan betapa tidak terlalu sulitnya untuk mendapatkan nilai tertentu dari guru di sekolah. Dan itu pasti berbeda, jika penilaian hasil ujian itu diperoleh dari UN. Pemeriksaan yang bersifat komputerise memang salah satu sebab yang membuat nilai UN tidak dapat direkayasa oleh guru dan atau siswa. Itulah sebabnya nilai UN itu terasa berat.
Dengan ditiadakannya nilai UN yang lebih obyektif itu dalam penentuan kelulusan satuan pendidikan, maka secara tak langsung akan membuat sikap siswa tidak terlalu khawatir tidak akan mendapat nilai tertentu dari guru. Dan sikap 'buruk' selanjutnya adalah para siswa --termasuk orang tua-- tidak lagi merasa perlu belajar serius untuk mendapatkan nilai UN yang selama ini tidak bisa direkayasa itu. Maka menjadi lemah dan entenglah pikiran mereka dalam menghadapi UN. Jika biasanya terkesan lebih bersungguh-sungguh, kini sudah tiak lagi.
Sikap siswa dan orang tua yang 'mengentengkan' inilah yang sebenarnya wajib menjadi perhatian sekolah dan Pemerintah. Jika siswa dan orang tua tidak lagi mementingkan UN sementara UN adalah ukuran standar Nasional yang sudah ditetapkan Pemerintah maka itu berarti yang akan rugi mereka dan sekolah, tentunya. UN sendiri akan tetap dilaksanakan karena itu adalah amanah undang-undang. Artinya para siswa tidak akan bisa lari dari kegiatan UN itu sendiri.
Tugas berat sekolah ke depannya adalah mengubah sikap siswa dari sekadar memperoleh angka (nilai ujian) saja kepada sikap dan tindakan yang mengiringi angka itu sendiri. Siswa harus mengganti angka itu dengan sikap yang benar yang menggambarkan angka itu sendiri. Sikap yang benar adalah bahwa setiap siswa wajib memiliki kemampuan yang mencerminkan nilai-nilai yang diperolehnya, khususnya ketika mengikuti ujian akhir sekolah. Dan sikap yang benar itu adalah ketika siswa tidak hanya mengejar kelulusan (tamat) dari satuan pendidikan saja tapi juga memiliki nilai yang baik (US-UN) yang dicerminkan dengan sikap yang benar.
Jika hanya tamat yang dikejar, sementara kemampuan pengetahuan tidak mencerminkan kelulusan, yakinlah bahwa itu kelak tetap akan merugikan siswa sendiri. Boleh jadi, meremehkan nilai UN hari ini, kelak akan merugikan ketika sudah akan masuk ke dunia kerja setelah kuliah, misalnya. Janganlah sampai meremehkan belajar karena merasa tidak perlu lagi nilai 'terbaik' dalam UN. UN boleh tidak menentukan kelulusan, tapi tetap menentukan masa depan. Jadi, tetaplah berusaha meraih nilai tinggi dan diikuti dengan sikap yang juga baik. Ayo, mari berubah.***
Setelah diubahnya kebijakan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan oleh Pemerintah, pandangan masyarakat khususnya stack holders sekolah ternyata juga ikut berubah. Terutama siswa dan orang tua/ wali yang selama ini begitu khawatir setiap pelaksanaan UN, kini tidak lagi begitu merisaukannya. Jika dulu, setiap akan datangnya UN setiap siswa dan orang sangat takut akan tidak lulus, kini ketakutan itu sudah tidak ada. Kalau dulu, begitu sibuk ingin menambah jam belajar (ada jadwal tamabahan/ terobosan) demi mendapatkan nilai UN agar lulus, kini malah adem-ayem saja. Gairah untuk belajar ekstranya seperti tidak ada lagi.
Ketakutan selama ini adalah karena persyaratan nilai UN adalah menjadi salah satu penentu kelulusan di satuan pendidikan. Jika siswa tidak mampu mencapai nilai minimal 55 --ketentuan yang ditetapkan Pemerintah-- dari nilai maksimal 100 yang ditentukan, maka siswa bersangkutan tidak dapat dinyatakan lulus walaupun semua nilai lainnya memenuhi syarat. Artinya, pada tahun itu belum akan mendapat ijazah bukti tamat sekeolah. Padahal untuk mendapatkan angka 55 memang tidaklah mudah selama ini, walaupun angka itu hanya setengah dari nilai maksimal yang ada.
Kini, dengan dihilangkannya persyaratan nilai UN maka setiap siswa dapat dinyatakan lulus (tamat) dari sekolah jika persyaratan yang sepenuhnya ditetapkan sekolah terpenuhi. Saat ini persyaratan yang ditentukan sekolah --sesuai POS UN-- antara lain memperoleh nilai budi pekerti minimal 'baik', sudah menyelesaikan semua program pembelajaran sejak kelas awal hingga kelas akhir, lulus dalam Ujian Sekolah (dengan standar nilai yang ditentukan oleh sekolah) dan beberapa kriteria yang tak terkait dengan UN.Kelulusan itu, kini benar-benar menjadi otoritas sekolah. Tentu saja, ini sudah sangat memudahkan siswa karena semua nilai akan ditentukan oleh sekolah.
Ternyata, implikasi dari perubahan kebijakan dan peraturan itu telah menimbulkan sikap 'mengentengkan' oleh para siswa terhadap keharusan belajar giat untuk mencapai nilai tertentu. Harus diakui, kesalahan selama ini adalah masih adanya sikap tidak/ kurang obyektif dari pihak sekolah dalam memberikan nilai hasil ujian kepada siswa. Siswa sendiri juga merasakan betapa tidak terlalu sulitnya untuk mendapatkan nilai tertentu dari guru di sekolah. Dan itu pasti berbeda, jika penilaian hasil ujian itu diperoleh dari UN. Pemeriksaan yang bersifat komputerise memang salah satu sebab yang membuat nilai UN tidak dapat direkayasa oleh guru dan atau siswa. Itulah sebabnya nilai UN itu terasa berat.
Dengan ditiadakannya nilai UN yang lebih obyektif itu dalam penentuan kelulusan satuan pendidikan, maka secara tak langsung akan membuat sikap siswa tidak terlalu khawatir tidak akan mendapat nilai tertentu dari guru. Dan sikap 'buruk' selanjutnya adalah para siswa --termasuk orang tua-- tidak lagi merasa perlu belajar serius untuk mendapatkan nilai UN yang selama ini tidak bisa direkayasa itu. Maka menjadi lemah dan entenglah pikiran mereka dalam menghadapi UN. Jika biasanya terkesan lebih bersungguh-sungguh, kini sudah tiak lagi.
Sikap siswa dan orang tua yang 'mengentengkan' inilah yang sebenarnya wajib menjadi perhatian sekolah dan Pemerintah. Jika siswa dan orang tua tidak lagi mementingkan UN sementara UN adalah ukuran standar Nasional yang sudah ditetapkan Pemerintah maka itu berarti yang akan rugi mereka dan sekolah, tentunya. UN sendiri akan tetap dilaksanakan karena itu adalah amanah undang-undang. Artinya para siswa tidak akan bisa lari dari kegiatan UN itu sendiri.
Tugas berat sekolah ke depannya adalah mengubah sikap siswa dari sekadar memperoleh angka (nilai ujian) saja kepada sikap dan tindakan yang mengiringi angka itu sendiri. Siswa harus mengganti angka itu dengan sikap yang benar yang menggambarkan angka itu sendiri. Sikap yang benar adalah bahwa setiap siswa wajib memiliki kemampuan yang mencerminkan nilai-nilai yang diperolehnya, khususnya ketika mengikuti ujian akhir sekolah. Dan sikap yang benar itu adalah ketika siswa tidak hanya mengejar kelulusan (tamat) dari satuan pendidikan saja tapi juga memiliki nilai yang baik (US-UN) yang dicerminkan dengan sikap yang benar.
Jika hanya tamat yang dikejar, sementara kemampuan pengetahuan tidak mencerminkan kelulusan, yakinlah bahwa itu kelak tetap akan merugikan siswa sendiri. Boleh jadi, meremehkan nilai UN hari ini, kelak akan merugikan ketika sudah akan masuk ke dunia kerja setelah kuliah, misalnya. Janganlah sampai meremehkan belajar karena merasa tidak perlu lagi nilai 'terbaik' dalam UN. UN boleh tidak menentukan kelulusan, tapi tetap menentukan masa depan. Jadi, tetaplah berusaha meraih nilai tinggi dan diikuti dengan sikap yang juga baik. Ayo, mari berubah.***
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda