Selasa, 26 April 2016
Pendidikan (Tak) Bernilai*
Posted by M. Rasyid Nur on 22.10.00 in Berita Pendidikan | Comments : 0
KESALAHKAPRAHAN pandangan tentang mutu pendidikan yang hanya diukur dari nilai-nilai angka perolehan peserta didik dalam suatu ulangan atau ujian telah menyebabkan kekeliruan yang fatal tentang penilaian dan atau ukuran mutu pendidikan itu sendiri. Berebut dan berlomba meningkatkan mutu pendidikan dengan berlomba menyulap para peserta didik memburu nilai atau mengejar angka-angka yang tinggi nominal dalam setiap ujian, tidak saja telah merusak sasaran dan tujuan pendidikan, akan tetapi juga telah mengekang guru dan peserta didik untuk sekedar memburu nilai tinggi dalam bentuk angka-angka belaka.
Fenomena ini terasa dan kentara sekali setiap tahun tatkala sekolah bersiap dan akan melaksanakan ujian akhir seperti Ujian Nasional (UN). Setiap komponen sekolah –guru, Kepala Sekolah, orang tua siswa—sibuk untuk memprsiapkan UN yang ditarget memperoleh nilai angka-angka sebagai target keberhasilan. Kelulusan yang diukur dengan angka-angka nilai tertentu ternyata telah menciptakan persepsi yang salah dalam mempersiapkan UN.
Saban tahun ketika UN atau bahkan ujian kenaikan kelas akan datang, saban tahun pula sekolah membuat program pembelajaran instan yang bertujuan sekedar memperoleh nilai setara atau di atas nilai minimal kelulusan/ ketuntasan yang telah ditentukan. Nilai-nilai sebagai kriteria kelulusan yang biasanya ditetapkan Pemerintah dengan Permendiknas dan diikuti POS (Prosedur Operasi Standar) yang ditetapkan BNSP sebagai penyelenggara UN seolah menjadi angka mujarab dan mutlak untuk wajib diikhtiarkan. Kepala Sekolah, Guru dan para siswa bahkan orang tua disibukkan hanya oleh target nilai angka yang telah ditentukan itu.
Untuk lebih dari sekedar mencapai target kelulusan, tidak kurang pula sekolah berlomba mencari dan berusaha meraih nilai-nilai angka yang lebih tinggi dari pada batas minimal kelulusan yang telah ditentukan dengan cara-cara yang tidak pantas. Sedihnya, yang dicari dan diusahakan hanya nilai-nilai angka belaka. Tidak ada nilai moralnya.
Sudah menjadi rahasia umum atau bahkan mungkin menjadi trand kalau sekolah menjadikan program pencapaian nilai tinggi sebagai program unggulan sekolah yang tersembunyi. Kebangggaan pencapaian nilai-nilai angka tertinggi telah menyilaukan para pendidik hinga tidak lagi dapat membedakan kebenaran dengan kebanggaan. Kebanggaan karena kelulusan yang tinggi ternyata tidak segaris dengan kebenaran dan kejujuran penyelenggaraan ujiannya.
Jika sekolah sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan hanya berpikir tentang cara-cara memperoleh nilai mata pelajaran tapi tidak lagi memikirkan apakah peserta didiknya benar-benar telah memiliki kompetensi komplit (akademis dan non akademis) sebagai bekal setelah tamat, di sinilah masalah besar akan menimpa pendidikan. Pendidikan yang di tataran teoritis (dalam undang-udang dan peraturan) sangat bagus, di tataran praktik akan sangat jelek dan akan berdampak jauh lebih berbahaya dalam jangka panjang jika perburuan nilai ternyata hanya sekedar angka.
Teoritis tujuan dan fungsi pendidikan nasional memang untuk membuat berkembangnya kemampuan dan terbentuknya watak kebangsaan yang berperadaban dan bermartabat bagi peserta didik. Lebih detail, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Itu teoritis yang seharusnya aplikatif dalam kenyataan hidup setelah tamat.
Namun apa yang dapat kita lihat saat ini? Ternyata outcome dari output kebanyakan sekolah hanya pengangguran. Tidak tampak nilai-nilai kemampuan dan peradaban yang bermartabat dari manusia beriman dan berakhlak mulia, berilmu dan kreatif supaya mampu mandiri sebagaimana rumusan harapan dalam teori itu. Nilai-nilai angka yang diperoleh belum sebagai cerminan nilai-nilai harapan.
Sudah saatnya sekolah tidak lagi berkutat pada kepentingan nilai-nilai angka sekedar kelulusan. Tidak juga sekedar memenuhi ambisi Kepala Sekolah atau Kepala Dinas atau siapa saja yang mematok kelulusan 100 persen tapi dengan kejujuran nol persen. Kejujuran harusnya lebih penting dari pada kelulusan.
Jikapun ada nilai-nilai yang akan dan wajib dikejar dalam proses pendidikan, bukanlah nilai angka-angka yang tak bernilai dari sisi moral dan kejujuran. Angka yang bernilai adalah angka-angka yang sekaligus tercerminkan dalam output dan outcome peserta didik ketika dia sudah berinteraksi dengan pihak lain pasca memperoleh nilai-nilai dari hasil ujian tersebut. Target nilai yang seharusnya diemban adalah kemampuan peserta didik untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Nah, akan mungkinkah perburuan nilai-nilai angka dengan tidak jujur dalam ujian menjadikan peserta didik memiliki dan mengaplikasikan kejujuran dalam hidup? Jawabnya tentu tidak. Apa yang mereka tanam di sekolah itu juga yang akan mereka panen kelak dalam kehidupan berikutnya. Kebobrokan dan kecurangan yang saat ini marak ditemukan di institusi dan level manapun, tidak terlepas dari pengalaman masa lalu semasa di bangku sekolah si pelaku.
Akan tidak menjadi terlalu penting nilai-nilai angka setiap mata pelajaran dalam setiap ujian harus tinggi atau rendah bilamana sekolah (Kepala Sekolah dan guru) tidak berhasil mewujudkan sasaran pendidikan dalam praktik kehidupan peserta didik di tengah masyrakat sebagaimana tuntutan teoritis itu. Tugas utama pendidik haruslah memembuat segaris-sebangunnya nilai-nilai angka yang tinggi dalam ujian dengan nilai-nilai yang tinggi juga dalam integritas kebenaran dan kejujuran peserta didik.
Jika demikian maka tampaknya pendidikan dengan orientasi nilai semata menjadi tidak lebih penting dari pada pendidikan tak bernilai asalkan praktik hidup peserta didik tercermin dalam bentuk harapan-harapan itu tadi. Artinya, kalaupun nilai-nilai dengan angka-angka tidak diutamakan tapi penekananya pada praktik kehidupan sesuai kompetensi yang diraih di sekolah, bermakna pendidikan tak bernilai seperti ini jauh lebih baik. Bahwa nilai juga penting sebagai indikator keberhasilan dalam bentuk angka-angka, bagus-bagus saja asal tidak sekedar pendidikan untuk bernilai saja.***
*Sudah dipublish di beberapa tempat
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda