PADA awal-awal MTQ (Musbaqoh Tilawatil Quran) dilaksanakan di Kabupaten Karimun riuh-rendah animo masyarakat belumlah tampak seperti saat ini. Tapi dengan pelaksanaan MTQ Tingkat Provinsi Riau tahun 2003 lalu dilaksanakan di kabupaten 'berazam' (moto waktu itu) yang usianya masih muda, itu membuat antusiasme masayarakat mulai menonjol. MTQ Tingkat Provinsi itu adalah MTQ pertama dilaksanakan di kabupaten yang lahir tahun 1999 ini. Itulah pemicu masyarakat terus antusias.
Pasca MTQ Provinsi Riau (waktu itu Kabupaten Karimun masih bersama provinsi yang beribu kota Pekanbaru itu) masyarakat 'kabupeten bersih berazam' (moto saat ini) terus semakin serius mengelola pembinaan dan pengembangan alquran. LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran) yang berdiri bersamaan lahirnya kabupaten pecahan Kabupaten Kepri juga kian giat dan gigih berbenah. Pemda Karimun di bawah kepemimpinan Muhammad Sani dan Nurdin Basirun sangat anstusias dan serius membenahi lembaga pengembangan alquran itu. Pak Nurdin yang notabene Wakil Bupati ditetapkan menjadi Ketua LPTQ waktu itu. Dialah ketua LPTQ pertama sejak Karimun ada. Di era ini pula tradisi Wakil Bupati menjadi peneraju utama LPTQ berlaku hingga hari ini.
Tahun ke tahun MTQ rutin lakukan. Dari tingkat kelurahan dan pedesaan, ke kecamatan hingga ke tingkat kebupaten, MTQ terus dilaksanakan di kabupaten ini. Berbagai acara lain pun dilaksanakan sebagai usaha memeriahkan pelaksanaan MTQ. Ada pawai taaruf yang diperlombakan, ada stan bazar yang juga diperlombakan. Dan ada pemberian piala dan hadiah khusus bagi daerah yang berhasil keluar sebagai juara umum dan mendapat piala bergilir. Di MTQ Tingkat Kabupaten ada Piala Bergilir Bupati, sementara di tingkat kecamatan ada Pila Bergilir Camat yang diperebutkan kelurahan dan atau pedesaan.
Begitulah seterusnya, pelaksanaan MTQ ternyata semakin diapresiasi masyarakat. Salah satu yang menjadi ikon MTQ dalam waktu begitu lama itu adalah penilaian astaka utama tempat lomba yang oleh panitia MTQ dijadikan penilian utama pula dalam menentukan daerah pelaksana terbaik dalam pelaksanaan MTQ. Bertahun-tahun bentuk dan model astaka menjadi hal utama dalam setiap MTQ. Maka jadilah MTQ ini menyerap dana yang besar dalam membuat astaka. Dana-dana yang disediakan Pemerintah terlalu besar hanya untuk membuat astaka.
Maka mulai MTQ tahun 2017 ini, Pemerintah Kabupaten Karimun mengubah cara penilaian itu. Untuk menentukan daerah sebagai pelaksana MTQ terbaik, tidak lagi dijadikan astaka sebagai komponen utamanya. Terbukti itu hanya mubazir belaka karena astaka hanyalah benda yang dipakai dalam beberapa pelaksanaan MTQ sementara biaya pembuatannya sangatlah besar. Maka diubahlah kebijakan itu.
Terhitung MTQ tahun ini, untuk menentukan desa/ lurah atau kecamatan sebagai pelaksana MTQ terbaik, tidak akan dijadikan astaka sebagai kriteria [enilaian utamanya. Sesuai hasil Musyawarah Daerah LPTQ Kabupaten tahun 2016 lalu, untuk menentukan daerah pelaksana terbaik dalam melaksanakan MTQ akan ditentukan dengan kriteria lain, meskipun astaka juga akan tertap dipakai dengan tidak sebagai penentu utama.
Sesungguhnya ada beberapa kriteria lain yang dapat dijadikan sebagai dasar penentuan kecamatan/ kelurhaan-desa penyelenggara MTQ terbaik, seperti jumlah cabang yang dilombakan, jumlah penonton/ pengunjung yang datang dalam MTQ, antusiasme masyarakat ketika MTQ berlangsung, dan beberapa komponen lain. Jika astaka masih dipakai, tidak perlu menjadi nilai utama. Cukup sebagai nilai pelengkap saja. Artinya, tuan rumah tidak harus memaksakan membuat astaka dengan biaya yang terlalu besar. Semoga ke depan, keputusan ini benar-benar dilaksanakan.***
Begitulah seterusnya, pelaksanaan MTQ ternyata semakin diapresiasi masyarakat. Salah satu yang menjadi ikon MTQ dalam waktu begitu lama itu adalah penilaian astaka utama tempat lomba yang oleh panitia MTQ dijadikan penilian utama pula dalam menentukan daerah pelaksana terbaik dalam pelaksanaan MTQ. Bertahun-tahun bentuk dan model astaka menjadi hal utama dalam setiap MTQ. Maka jadilah MTQ ini menyerap dana yang besar dalam membuat astaka. Dana-dana yang disediakan Pemerintah terlalu besar hanya untuk membuat astaka.
Maka mulai MTQ tahun 2017 ini, Pemerintah Kabupaten Karimun mengubah cara penilaian itu. Untuk menentukan daerah sebagai pelaksana MTQ terbaik, tidak lagi dijadikan astaka sebagai komponen utamanya. Terbukti itu hanya mubazir belaka karena astaka hanyalah benda yang dipakai dalam beberapa pelaksanaan MTQ sementara biaya pembuatannya sangatlah besar. Maka diubahlah kebijakan itu.
Terhitung MTQ tahun ini, untuk menentukan desa/ lurah atau kecamatan sebagai pelaksana MTQ terbaik, tidak akan dijadikan astaka sebagai kriteria [enilaian utamanya. Sesuai hasil Musyawarah Daerah LPTQ Kabupaten tahun 2016 lalu, untuk menentukan daerah pelaksana terbaik dalam melaksanakan MTQ akan ditentukan dengan kriteria lain, meskipun astaka juga akan tertap dipakai dengan tidak sebagai penentu utama.
Sesungguhnya ada beberapa kriteria lain yang dapat dijadikan sebagai dasar penentuan kecamatan/ kelurhaan-desa penyelenggara MTQ terbaik, seperti jumlah cabang yang dilombakan, jumlah penonton/ pengunjung yang datang dalam MTQ, antusiasme masyarakat ketika MTQ berlangsung, dan beberapa komponen lain. Jika astaka masih dipakai, tidak perlu menjadi nilai utama. Cukup sebagai nilai pelengkap saja. Artinya, tuan rumah tidak harus memaksakan membuat astaka dengan biaya yang terlalu besar. Semoga ke depan, keputusan ini benar-benar dilaksanakan.***
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda