BREAKING NEWS

Kamis, 30 Juni 2016

Menjelang Bedug*



TERASA sesuatu masih mengganjal hati saya untuk memenuhi undangan itu. Sulit rasanya memberikan kata putus: pergi atau tidak. Mau pergi berat rasa di hati. Tidak pergi juga tidak enak. Saya dapat undangan. Tetangga lagi. Hmm… terasa ada yang menusuk ulu hati saya.
Saya termenung. Pandangan menancap dalam ke tanah yang ditumbuhi rumput gajah itu.
Kesan buruk yang menyebabkan enggannya saya untuk datang ke rumah Pak Arlan, tetangga saya, itu masih berbekas di benak saya. Sulit melupakan begitu saja.
Termenung lagi.
Sang mentari melangkah gontai menuju peraduan.
“Hah lagi memikirkan apa?” Suara mengganggu lamunan saya.
Saya menoleh.
“Hai ada apa sesore ini? Tumben. Tidak biasanya.” Saya berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Sedang mengingat apa? Termenung saja. Lapar? Kalau lapar, ya buka saja.” Herman tersenyum lucu.
“Lagi memikirkan sesuatu”, jawab saya sekedarnya. “Memangnya siapa yang tidak lapar jam begini.” Saya mencoba pula untuk tersenyum membalas senyumnya.
“Isteriku,” jawabnya spontan sambil menghampiriku.
“Lho, kenapa? Apa dia…”
“Lampu merah,” potongnya setengah serius. Lalu terkekeh.
Saya mengerti.
Herman (karib kental, setingkat dan sejurusan di FK UNRI dengan saya. Bedanya, dia telah punya anak satu) memang suka melucu. Isterinya yang kebetulan lagi datang bulan beberapa hari ini dijadikannya bahan melucu untuk mengganggu saya yang tengah lapar dan haus karena puasa.
Diam sejenak.
“Heh, Syid, ngomong-ngomong kamu dapat undangan dari orang kaya itu, ya?” Herman mengganti topik dengan pertanyaan lain.
“Pak Arlan?” tanya saya.
“Hm, undangan berbuka puasa. Tapi orang itu kan mau pesta besar malam ini. Kabarnya orang gede-gede di sini sudah pada diundang. Termasuk kamu. Ah… apakah tak bangga, kamu? Berarti kamu termasuk hitungan orang gede di sini, dong.”
“Inilah yang saya pikirkan dari tadi, Her”, kata saya sambil menarik nafas.
“Koq?”
“Pagi tadi saya masih mendengar keluarga itu bertengkar. Kemarin saya juga mendengar pertengkaran semacam itu”.
“Pertengkaran?” Teman saya heran.
“Ya, bertengkar. Bahkan sampai siang tadi, ketika saya bertemu dengan mereka lagi belanja di Pasar Pusat, Bu Mirah, isterinya Pak Arlan, masih cemberut. Memberengut. Mungkin masih juga masalah itu.”
“Aku tidak mengerti maksudmu, Syid. Apa hubungannya ceritamu itu dengan undangan berbuka? Barangkali itu hanya urusan rumah tangga. Yang penting kamu beruntung jadi orang penting malam ini”
“Tapi karena itu pulalah hati saya jadi tidak enak untuk memenuhi undangan berbuka puasa itu. Kamu tahu? Keluarga itu nyaris porak-poranda disebabkan masalah berbuka puasa ini”.
“Bah…koq bisa porak-poranda? Orang sekaya itu. Punya mobil, punya kenderaan ini-itu. Apa lagi isi rumahnya yang serba mewah. Porak-poranda bagaimana? Apakah mereka tidak bisa membeli berbagai panganan untuk undangan?” Berhenti sebentar. “Dan, dan kamu tahu, mengundang orang berbuka, kan dianjurkan?”
“Bukan karena itu. Uang mereka itu banyak. Ini–itu segala macam mereka punya. Tapi mereka bertengkar karena undangannya. Pak Arlan ingin mengundang orang-orang tertentu yang sesuai dengan keinginannya. Tapi Bu Mirah menentang. Pendapat mereka bertolak belakang.”
“Bertentangan bagaiaman maksudmu?”
“Pak Arlan ‘kan orang kaya. Di samping pejabat tinggi dia punya perusahaan di mana-mana. Hampir di setiap sudut kota Pekanbaru ini ada kantong duitnya. Belum lagi di kota lain. Tentu saja rekan-rekan kenalannya bukan orang-orang sembarangan. Dan pada saat seperti ini dia ingin mengundang semua temannya itu. Sampai-sampai Pak Arlan sengaja mencetak Kartu Undangan berbuka. Seperti mengundang dalam pesta perkawinan saja.”
Herman tersenyum.
“Nah tentang inilah Bu Mirah tidak setuju,” sambung saya.
“Koq ibu itu menentang? Itu kan lebih baik. Berarti Pak Arlan tidak menganggap remeh undangannya, seperti kebiasaan orang sini kalau undangan berbuka cukup lewat mulut saja. Memang lebih praktis kalau langsung lewat bibir saja, tapi jika mampu mencetak kartu undangan, apa salahnya?”
“Kamu ngawur, Herman. Bu Mirah itu bukan marah karena kartu undangannya. Mau pakai kartu, mau lisan, itu hanya masalah tehnis. Yang tidak sesuai dengan pikiran isterinya itu adalah orang-orang yang diundang itu. Bu Mirah tidak menyetujui orang-orang yang telah diundang Pak Arlan. Tidak wajar, kata Bu Mirah”
“Lho?”
            “Bu Mirah ingin mengudang orang-orang miskin atau yatim piatu yang ada di Panti Asuhan Muhammadiyah atau Panti Asuhan manalah, untuk diberi makan, alih-alih mengundang orang-orang kaya seperti yang diinginkan Pak Arlan. Lebih afdhol memberi makan fakir-miskin, kata isterinya. Tapi Pak Arlan tetap bertahan. Alasannya karena undangan telah beredar”.
“Lalu?” Herman semakin serius.
“Lalu,… ya berperanglah mereka”.
Sejenak kami sama-sama terdiam. Herman seperti memikirkan sesuatu. Tapi saya tidak dapat meraba apa yang menjalar di benaknya.
“Jadi kamu bagaimana, Syid?” tanyanya tiba-tiba.
“Inilah yang saya pikirkan, Her.”
“Tapi kamu dapat undangan, kan?”
“Itu kebetulan belaka. Karena tetangga. Kalau tidak, mana mungkin orang seperti kita ini akan diundang Pak Arlan? Pak Arlan tuh sombong. Angkuh.”.
“Atau karena anak gadisnya yang tampaknya suka sama kamu?”
“Husy, jangan bawa-bawa nama cewek itu. Itu tidak padanan aku?”
Diam lagi. Tapi jantung saya berdebar tak karuan. Apakah Herman tahu kalau saya lagi mabuk kepayang bila memikirkan gadis itu?
“Lalu kamu akan membatalkan undangan itu?”
Saya tidak menjawab pertanyaan itu. Senyum putri Pak Arlan mengganggu pikiran saya.
“Heh, undangannya akan dibatalkan atau kau cuma pura-pura aja?” Herman mengulanginya melihat saya tidak bereaksi.
“Be..belum tentu,” sedikit saya gugup.
“Kenapa?”
“Sebab menghadiri undangan itu kan wajib. Ya terang dosa, kalau saya tidak pergi.” Saya merasa geli sendiri mengucapkan kalimat itu.
“Lalu?” taanya Herman lagi.
“Kalau menurutmu, bagaimana? Pergi atau tidak?” Saya balik bertanya.
“Kalau saya, sih pergi,” jawabnya dengan logat Jawanya.” Yang terang perut kita tidak menyesal. Dan yang lebih penting lagi, kita dapat bersama-sama dengan para penggede itu. Kan suatu kehormatan?”
“Tapi saya masih ragu, Her. Tadinya saya memang berniat pergi. Tapi kini setelah ngobrol denganmu rasanya malas saya pergi”.
“Lha?”
“Rasanya kita-kita orang miskin ini didiskriminasikan orang kaya. Ya kalau seperti kita, kau dan saya, barangkali masih untung. Tapi kalau orang-orang gelandangan itu yang tiap hari tak tentu dan tak pasti makan minumnya? Atau penghuni panti yang makannya menanti uluran tangan orang; yang puasanya entah berapa kali fajar sampai tenggelam matahari; kalau bukan orang seperti Pak Arlan itu yang mau membantu, siapa lagi?’
“Benar, Syid. Kita yang hanya satu hari tidak makan dan minum padahal malamnya sudah pasti ada, rasanya hampir tidak tahan lapar dan dahaga. Apalagi fakir miskin itu”. Suara Herman terbenam ke dalam tenggorokannya. Mungkin dia segan karena saya juga anak miskin yang meneroka hidup di bawah belas kasihan orang.
“Dan memang serba susah. Padahal Tuhan menganjurkan suapaya saling membantu dan kasih-mengasihi sesama kita, apalagi terhadap orang miskin. Tapi apa mau dikata. Kalau sifat orang-orang itu tetap saja seperti itu, yah yang kaya akan bertambah angkuh dengan kekayaannya dan yang melarat akan melarat dan sekarat dengan kemiskinannya.” Herman seperti muballigh yang sedang memberikan santapan rohani Ramadhan.
Lalu kami sama-sama tercenung kembali.
Dan tanpa kami sadari tiba-tiba ada suara yang memanggil saya dari belakang. Sementara di kolong-kolong jembatan dan emperan toko sana mungkin ada sejuta umat yang sudah lama berpuasa. Entah kapan pasti berbukanya. Ketika saya menoleh tampak Henny, anak Bu Erma, tempat saya numpang kost.  Mungkin Bu Erma yang menyuruhnya.
“Kak, sudah bedug. Ibu suruh panggil,” sahutnya.
Lalu saya melirik jam tangan saya. Eeh, telah jam enam dua lima rupanya.
“Sudah, Her. Yuk, kita buka di rumah saja. Tanggung.” Saya menarik tangan Herman.
“Jadi undangan itu?” Herman tersenyum ke arah Erna.
“Berarti belum jodoh.” Kami pun berjalan meninggalkan bangku tua di bawah pohon jambu itu.
Sang mentari telah menghilang. Saat berbuka pun menjelang. Bedug berdentang membuyarkan lamunan nan melayang. Sayang Herman tidak mengerti kalau wajah Fetty anak Pak Arlan terbayang-bayang di awang pandang.***
SELESAI
* Dari Buku 'Duka Cinta di Awal Cita'

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda

 
Copyright © 2016 koncopelangkin.com Shared By by NARNO, S.KOM 081372242221.