TERASA
sesuatu masih mengganjal hati saya untuk memenuhi undangan itu. Sulit rasanya
memberikan kata putus: pergi atau tidak. Mau pergi berat rasa di hati. Tidak pergi juga tidak enak. Saya dapat undangan.
Tetangga lagi. Hmm… terasa ada yang menusuk ulu hati saya.
Saya termenung. Pandangan menancap dalam
ke tanah yang ditumbuhi rumput gajah itu.
Kesan buruk yang menyebabkan enggannya
saya untuk datang ke rumah Pak Arlan, tetangga saya, itu masih berbekas di
benak saya. Sulit melupakan begitu saja.
Termenung
lagi.
Sang
mentari melangkah gontai menuju peraduan.
“Hah
lagi memikirkan apa?” Suara mengganggu lamunan saya.
Saya
menoleh.
“Hai ada apa sesore ini? Tumben. Tidak biasanya.” Saya berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Hai ada apa sesore ini? Tumben. Tidak biasanya.” Saya berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Sedang
mengingat apa? Termenung saja. Lapar? Kalau lapar, ya buka saja.” Herman
tersenyum lucu.
“Lagi
memikirkan sesuatu”, jawab saya sekedarnya. “Memangnya siapa yang tidak lapar jam begini.” Saya mencoba pula
untuk tersenyum membalas senyumnya.
“Isteriku,”
jawabnya spontan sambil menghampiriku.
“Lho,
kenapa? Apa dia…”
“Lampu
merah,” potongnya setengah serius. Lalu terkekeh.
Saya
mengerti.
Herman
(karib kental, setingkat dan sejurusan di FK UNRI dengan saya. Bedanya, dia
telah punya anak satu) memang suka melucu. Isterinya yang kebetulan lagi datang
bulan beberapa hari ini dijadikannya bahan melucu untuk mengganggu saya yang
tengah lapar dan haus karena puasa.
Diam
sejenak.
“Heh,
Syid, ngomong-ngomong kamu dapat undangan dari orang kaya itu, ya?” Herman
mengganti topik dengan pertanyaan lain.
“Pak
Arlan?” tanya saya.
“Hm,
undangan berbuka puasa. Tapi orang itu kan
mau pesta besar malam ini. Kabarnya orang gede-gede di sini sudah pada
diundang. Termasuk kamu. Ah… apakah tak bangga, kamu? Berarti kamu termasuk
hitungan orang gede di sini, dong.”
“Inilah
yang saya pikirkan dari tadi, Her”, kata saya sambil menarik nafas.
“Koq?”
“Pagi
tadi saya masih mendengar keluarga itu bertengkar. Kemarin saya juga mendengar
pertengkaran semacam itu”.
“Pertengkaran?”
Teman saya heran.
“Ya,
bertengkar. Bahkan sampai siang tadi, ketika saya bertemu dengan mereka lagi
belanja di Pasar Pusat, Bu Mirah, isterinya Pak Arlan, masih cemberut.
Memberengut. Mungkin masih juga masalah itu.”
“Aku
tidak mengerti maksudmu, Syid. Apa hubungannya ceritamu itu dengan undangan
berbuka? Barangkali itu hanya urusan rumah tangga. Yang penting kamu beruntung
jadi orang penting malam ini”
“Tapi
karena itu pulalah hati saya jadi tidak enak untuk memenuhi undangan berbuka
puasa itu. Kamu tahu? Keluarga itu nyaris porak-poranda disebabkan masalah
berbuka puasa ini”.
“Bah…koq
bisa porak-poranda? Orang sekaya itu. Punya mobil, punya kenderaan ini-itu. Apa
lagi isi rumahnya yang serba mewah. Porak-poranda bagaimana? Apakah mereka
tidak bisa membeli berbagai panganan untuk undangan?” Berhenti sebentar. “Dan,
dan kamu tahu, mengundang orang berbuka, kan
dianjurkan?”
“Bukan
karena itu. Uang mereka itu banyak. Ini–itu segala macam mereka punya. Tapi
mereka bertengkar karena undangannya. Pak Arlan ingin mengundang orang-orang
tertentu yang sesuai dengan keinginannya. Tapi Bu Mirah menentang. Pendapat
mereka bertolak belakang.”
“Bertentangan
bagaiaman maksudmu?”
“Pak
Arlan ‘kan
orang kaya. Di samping pejabat tinggi dia punya perusahaan di mana-mana. Hampir
di setiap sudut kota
Pekanbaru ini ada kantong duitnya. Belum lagi di kota lain. Tentu saja rekan-rekan kenalannya
bukan orang-orang sembarangan. Dan pada saat seperti ini dia ingin mengundang
semua temannya itu. Sampai-sampai Pak Arlan sengaja mencetak Kartu Undangan
berbuka. Seperti mengundang dalam pesta perkawinan saja.”
Herman
tersenyum.
“Nah
tentang inilah Bu Mirah tidak setuju,” sambung saya.
“Koq
ibu itu menentang? Itu kan
lebih baik. Berarti Pak Arlan tidak menganggap remeh undangannya, seperti
kebiasaan orang sini kalau undangan berbuka cukup lewat mulut saja. Memang
lebih praktis kalau langsung lewat bibir saja, tapi jika mampu mencetak kartu
undangan, apa salahnya?”
“Kamu
ngawur, Herman. Bu Mirah itu bukan marah karena kartu undangannya. Mau pakai
kartu, mau lisan, itu hanya masalah tehnis. Yang tidak sesuai dengan pikiran
isterinya itu adalah orang-orang yang diundang itu. Bu Mirah tidak menyetujui
orang-orang yang telah diundang Pak Arlan. Tidak wajar, kata Bu Mirah”
“Lho?”
“Bu Mirah ingin mengudang orang-orang miskin atau yatim piatu yang ada di Panti Asuhan Muhammadiyah atau Panti Asuhan manalah, untuk diberi makan, alih-alih mengundang orang-orang kaya seperti yang diinginkan Pak Arlan. Lebih afdhol memberi makan fakir-miskin, kata isterinya. Tapi Pak Arlan tetap bertahan. Alasannya karena undangan telah beredar”.
“Bu Mirah ingin mengudang orang-orang miskin atau yatim piatu yang ada di Panti Asuhan Muhammadiyah atau Panti Asuhan manalah, untuk diberi makan, alih-alih mengundang orang-orang kaya seperti yang diinginkan Pak Arlan. Lebih afdhol memberi makan fakir-miskin, kata isterinya. Tapi Pak Arlan tetap bertahan. Alasannya karena undangan telah beredar”.
“Lalu?”
Herman semakin serius.
“Lalu,…
ya berperanglah mereka”.
Sejenak
kami sama-sama terdiam. Herman seperti memikirkan sesuatu. Tapi saya tidak
dapat meraba apa yang menjalar di benaknya.
“Jadi
kamu bagaimana, Syid?” tanyanya tiba-tiba.
“Inilah
yang saya pikirkan, Her.”
“Tapi
kamu dapat undangan, kan?”
“Itu
kebetulan belaka. Karena tetangga. Kalau tidak, mana mungkin orang seperti kita
ini akan diundang Pak Arlan? Pak Arlan tuh sombong. Angkuh.”.
“Atau
karena anak gadisnya yang tampaknya suka sama kamu?”
“Husy,
jangan bawa-bawa nama cewek itu. Itu tidak padanan aku?”
Diam
lagi. Tapi jantung saya berdebar tak karuan. Apakah Herman tahu kalau saya lagi
mabuk kepayang bila memikirkan gadis itu?
“Lalu kamu akan membatalkan undangan itu?”
Saya
tidak menjawab pertanyaan itu. Senyum putri Pak Arlan mengganggu pikiran saya.
“Heh, undangannya akan dibatalkan atau kau
cuma pura-pura aja?” Herman mengulanginya melihat saya tidak bereaksi.
“Be..belum
tentu,” sedikit saya gugup.
“Kenapa?”
“Sebab
menghadiri undangan itu kan
wajib. Ya terang dosa, kalau saya tidak pergi.” Saya merasa geli sendiri
mengucapkan kalimat itu.
“Lalu?”
taanya Herman lagi.
“Kalau
menurutmu, bagaimana? Pergi atau tidak?” Saya balik bertanya.
“Kalau
saya, sih pergi,” jawabnya dengan logat Jawanya.” Yang terang perut kita tidak
menyesal. Dan yang lebih penting lagi, kita dapat bersama-sama dengan para
penggede itu. Kan
suatu kehormatan?”
“Tapi
saya masih ragu, Her. Tadinya saya
memang berniat pergi. Tapi kini setelah ngobrol
denganmu rasanya malas saya pergi”.
“Lha?”
“Rasanya
kita-kita orang miskin ini didiskriminasikan orang kaya. Ya kalau seperti kita,
kau dan saya, barangkali masih untung. Tapi kalau orang-orang gelandangan itu yang tiap hari tak tentu dan tak
pasti makan minumnya? Atau penghuni panti yang makannya menanti uluran tangan
orang; yang puasanya entah berapa kali fajar sampai tenggelam matahari; kalau
bukan orang seperti Pak Arlan itu yang mau membantu, siapa lagi?’
“Benar, Syid. Kita yang hanya satu hari
tidak makan dan minum padahal malamnya sudah pasti ada, rasanya hampir tidak
tahan lapar dan dahaga. Apalagi fakir miskin itu”. Suara Herman terbenam ke
dalam tenggorokannya. Mungkin dia segan karena saya juga anak miskin yang meneroka hidup di bawah belas kasihan orang.
“Dan
memang serba susah. Padahal Tuhan menganjurkan suapaya saling membantu dan
kasih-mengasihi sesama kita, apalagi terhadap orang miskin. Tapi apa mau
dikata. Kalau sifat orang-orang itu tetap saja seperti itu, yah yang kaya akan
bertambah angkuh dengan kekayaannya dan yang melarat akan melarat dan sekarat
dengan kemiskinannya.” Herman seperti muballigh yang sedang memberikan santapan
rohani Ramadhan.
Lalu
kami sama-sama tercenung kembali.
Dan
tanpa kami sadari tiba-tiba ada suara yang memanggil saya dari belakang.
Sementara di kolong-kolong jembatan dan emperan toko sana mungkin ada sejuta umat yang sudah lama
berpuasa. Entah kapan pasti berbukanya. Ketika saya menoleh tampak Henny, anak
Bu Erma, tempat saya numpang kost. Mungkin
Bu Erma yang menyuruhnya.
“Kak,
sudah bedug. Ibu suruh panggil,” sahutnya.
Lalu
saya melirik jam tangan saya. Eeh, telah jam enam dua lima rupanya.
“Sudah,
Her. Yuk, kita buka di rumah saja. Tanggung.” Saya menarik tangan Herman.
“Jadi
undangan itu?” Herman tersenyum ke arah Erna.
“Berarti
belum jodoh.” Kami pun berjalan meninggalkan bangku tua di bawah pohon jambu
itu.
Sang
mentari telah menghilang. Saat berbuka pun menjelang. Bedug berdentang
membuyarkan lamunan nan melayang. Sayang Herman tidak mengerti kalau wajah
Fetty anak Pak Arlan terbayang-bayang di awang pandang.***
SELESAI
* Dari Buku 'Duka Cinta di Awal Cita'
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda